Sabtu, 20 November 2010

POLIGAMI DALAM KAJIAN ILMU TAFSIR


  1. MAKNA POLIGAMI
Islam diyakini sebagai agama yang menebar rahmat lil-alamn ( rahmat bagi alam semesta ), dan salah satu bentuk rahmat yang dibawanya adalah ajaran tentang perkawinan. Perkawinan merupakan aspek penting dalam ajaran islam. Di dalam al-Qur’an dijumpai tidak kurang dari 80 ayat yang berbicara soal perkawinan, baik yang memakai kata nikah maupun zawwaza[1].
Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan dalam masyarakat Muslim mulai dari mereka yang duduk di angkringan sampai di kalangan legislatif adalah masalah poligami yang juga menjadi perdebatan hangat antara mereka yang pro dengan yang kontra apalagi sesudah sang publik figure kita yakni Aa Gym telah mempersunting Teh Nienie untuk dijadikan isteri keduanya.
Poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak ( suami ) mengawini beberapa ( lebih dari satu ) isteri dalam waktu yang bersamaan[2] Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligami. Selain poligami, dikenal juga poliandri. Jika dalam poligami, suami yang memiliki beberapa isteri, dalam poliandri sebaliknya, justeru isteri yang mempunyai beberapa suami dalam waktu yang bersamaan. Akan tetapi, dibandingkan dengan poligami, bentuk poliandri tidak banyak diperaktekkan. Poliandri hanya ditemukan pada suku-suku tertentu, seperti pada suku Tuda dan beberapa suku di Tibet. Istilah poligini juga sama artinya dengan poligami, namun poligini tidak begitu banyak dipakai, melainkan memakai istilah poligami.
 
  1. SEJARAH SINGKAT POLIGAMI
Banyak orang salah paham tentang poligami. Mereka mengira poligami itu baru dikenal setelah isalm.mereka menganggap islamlah yang membawa ajaran tentang poligami, bahkan ada yang secara eksterim berpendapat bahwa jika bukan karena islam, poligami tiadak dikenal dalam sejarah manusia, disini perlu ditegaskan bahwa, pendapat demikian sungguh keliru, yang benar adalah berabad-abad sebelum islam diwahyukan, masyarakat di berbagai belahan dunia telah mengenal dan memperaktekkan poligami.
Ketika islam datang, kebiasaan poligami itu tidak serta merta dihapuskan. Namun, setelah ayat yang menyinggung soal poligami diwahyukan, Nabi lalu melakukan perubahan yang  radikal sesuai dengan petunjuk kandungan ayat.
            Poligami adalah historivally and social construvtion[3], sebagai mana juga system perbudakan ( slavery ). Oleh karena itu, ia tidak dapat dilepaskan dari kaitan sosio-historisnya yang didominasi atau dikuasai oleh kaum laki-laki.
            Poligami lahir dari sebuah konteks kebudayaan patriarkhi, sebuah keputusan atau tindakan menurutnya tidak hadir daam ruang yang kosong. Seseorang tidak dapat memutuskan suatu hal tanpa terlibat di dalamnya dalam hal ini manusia adalah produk sejarahnya sendiri. Keputusan Nabi melakukan poligami juga tidak terlepas dari situasi historis.
            Perkawinan poligami Nabi terjadi sesudah hijrah, pada usia lanjut ketika beban dakwah islamiyah semakin berat dan system social-politik yang rumit harus ditata dengan sebaik-baiknya. Poligami Nabi muncul dalam konteks social-politik kebudayaan dan situasi yang sangat khusus, sama khususnya dengan jumlah isteri lebih dari empat orang. Para ulama islam sepakat bahwa ia adalah “min khususiyyat al-Rasul”, suatu kekhusuan bagi Nabi sendiri.
           
  1. POLIGAMI DALAM KAJIAN ILMU TAFSIR
Dari ayat ketiga surat an-Nisa adalah satu-satunya ayat yang selalu dijadikan alasan pembenaran dan menjadikan dalil aji pamungkas bagi kebolehan poligami. Apakah benar ayat tersebut memberi petunjuk bagi kebolehan poligami? Sepintas memang terlihat demikian, karena di dalamnya ada kalimat fankihu ma thoba lakum minan nisai atsna wa tsulasa wa ruba, yang maknanya kawinilah perempuan-perempuan yang kamu sukai, dua, tiga, atau empat.
Namun, petunjuk al-Quran tidak dapat dipahami secara utuh dan benar hanya dengan merujuk pada bagian tertentu dari suatu ayat dan mengabaikan bagian ayat ayat yang lain. Sebuah ayat harus dilihat secara utuh, tidak dipenggal-penggal. Apalagi hanya mengambil bagian ayat yang menguntungkan, dan menafikan bagian ayat lainnya yang dirasa tidak menguntungkan.
Bahkan, dalam metode penafsiran maudhui ( tematik ) diajarkan bahwa untuk memahami suatu persoalan dalam al-Qur’an kita tidak bias hanya mengandalkan satu atau dua ayat saja, melainkan seluruh ayat yang menyinggung persoalan tersebut harus dilihat dan dibahas satu persatu untuk mendapatkan benang merah untuk mempertautkan kandungan dari berbagai ayat yang berbeda.
Pada ayat pertama surat an-Nisa berisi peringatan agar manusia bertaqwa kepada Allah Swt.bahkan peringatan itu diulang dua kali. Pertama, manusia diperingatkan bertakwa kepada Allah Swt sebagai perwujudan kesadaran diriny sebagai mahluk dan kesadaran sesungguhnya Allah Maha Pencipta. Kedua, manusia diperingatkan bertakwa kepada allah karena atas namanya manusia saling meminta satu sama lain.
Pada ayat kedua surat an-Nisa berisi penegasan agar berlaku adil, terutama terhadap anak-anak yatim. Ayat ini secara sefesifik berbicara soal anak yatim. Dalam tradisi Arab jahiliyah pemeliharaan anak-anak yatim menjadi tanggung jawab para walinya sampai ia dewasa dan mampu mengelola sendiri harta mereka.
Akan tetapi, realitas yang ada menujukkan tidak sedikit para wali yang kemudian berlaku curang terhadap anak-anak atim yang ada dalam perwaliannya bahkan para wali banyak yang mengawini anak yatim yang masih dalam perlindungannya tanpa mahar.

Artinya:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[4] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[5], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[6], Maka (kawinilah) seorang saja[7], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

  1. PANDANGAN PARA MUFASSIR TERHADAP AYAT POLIGAMI
 At-Tabari seorang mufassir yang banyak dikutip dan terkenal menafsirkan ayat an-Nisa ayat 3 sebagai berikut; jika kamu kahwatir tidaka dapat berlaku adil terhadapa anak yatim, demikian juga dengan perempuan-perempuan lain yang kamu senangi maka janganlah kamu menikahi mereka walaupun hanya satu orang.
 Ar-Razi dalam menafsirkan ayat tiga dari surat an-Nisa wain khiftum alla tuqshitu jika kamu khawatir tidak berlaku adil, fankihu ma thoba lakum minan nisa  maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu senangi sebagai suatu kebolehan. Artinya seharusnya ada keterangan yang jelas tentang bagaimana sebenarnya hubungan antara kebolehan menikahi perempuan-perempuan yang disenangi ( beristeri sampai empat atau poligami) dengan syarat berlaku adil.
Kedua mufassir tersebut berpendapat bahwa maksud utama ayat an-Nisa diatas adalah untuk berbuat keadilan, baik kepada anak-anak yatim maupun kepada para isteri.
Al-Jassas dalam kitab tafsirnya ahkam al-qur’an pada bab tazwij as sigar memberikan komentar atas surat an-Nisa ayat tiga menurutnya, ayat ini berkaitan dengan perihal anak yatim yang dikawini oleh walinya. menurutnya, poligami boleh (mubah) dengan syarat kemampuan berlaku adil terhadap para isteri (keadilan material maupun non material)  
Az-Zamakhsyari, menafsiri ayat an-Nisa ayat 3 dengan memahami masna wasulasa waruba menyebutkan kata sandang ( huruf atf  ) wa disini sebagai penjumlahan li al jami’ maka jumlah maksimal wanita yang halal dinikahi oleh laki-laki yang sanggup berbuat adil adalah sembilan.
            Al-Qurtubi, memahami keharusan berbuat adil dalam bidang kasih sayang, hubungan biologis pergaulan dan pembagian nafkah.
            Dengan mengaitkan ayat an-Nisa ayat tiga dengan sebelumnya Muhammad Abduh menafsirkan bahwa, kebolehan poligami dalam islam adalah persoalan kesempitan dan sangat darurat, yang dibolehkan bagi yang melakukannya dengan syarat berbuat adil dan aman bagi ketercelakaan.
            Menurut Abduh meskipun memahami ayat tersebut dengan pembolehan poligami, namun ia sangat menentang praktek poligami dalam masyarakat menurutnya, disamping karena sulit merealisasikan keadilan bagi isteri sangat sulit juga membina masyaraakat yang didalamnya marak praktik poligami, dari sisi lain poligami tidak diyakini dapat menciptakan suasana harmonis, malah sering kali menciptakan permusuhan diantara para isteri dan anak-anak dari masing-masing keluarga.
            Sayyid Qutub dalam tafsir fizilal al-qur’an menyebutkan bahwa, poligami merupakan rukhsah, karena ia perbuatan rukhsah maka ia hanya bias dilakukan dalam kondisi darurat atau benar-benar mendesak dan disertai dengan pemenuhan rasa keadilan diantara para isteri.
            Ibnu katsir memahami ayat an-Nisa ayat 3 dalam konteks perlakuan terhadap anak-anak yatim dan perempuan, ibnu katsir menafsirkan ayat tersebut sebagai keharusan seorang laki-laki untuk membayar  mahar dan hendaklah ia berlaku adil terhadap wanita-wanita lain yang bisa dinikahinya.
            Al-Maraghi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa poligamihanya diperbolehkan terhadap anak-anak yatim dan perempuan. Ibnu katsir menafsirkan ayat tersebut sebagai keharusan seorang laki-laki untuk membayar mahar dan hendaklah ia berlaku adil terhadap wanita-wanita lain yang bisa dinikahinya.
            Al-Maraghi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa poligami hanya diperbolehkan dalam kondisi darurat, yang dilakukan oleh orang-orang yang benar-ben aj-jahrani ar membutuhkan. Ia menyebutkan alasan-alasan diperbolehkannya poligami antara lain: isteri mandul, suami memiliki nafsu seks yang besar sedangkan isteri tidak mampu mengimbanginya, suami mempunyai harta yang banyak dan jumlah pria melebihi wanita.
            Quraish Syihab, seorang mufassir kebangsaan Indonesia menyebutkan bahwa setelah melarang mengambil dan memanfaatkan harta anak yatim secara aniaya kini yang dilarangnya adalah berlaku aniaya terhadap pribadi anak-anak yatim. Karena itu ditegaskan bahwa jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim dan wanita-wanita  selain yatim, maka niklahilah apa yang kamu senangi sesuai selera kamu yang halal dari wanita-wanita yang lain tersebut. kalau perlu kamu dapat menggabung dalam waktu yang sama dua, tiga, atau empat tapi jangan lebih. Lalu jika kamu takut tidak akan berlaku adil dalam hal harta dan perlakuan lahiriyah, bukan dalam hal bila membagi lebih dari seorang isteri, maka nikahilah seorang saja, atau nikmatilah hamba sahaya yang kamu miliki selain anak yatim akan mengakibatkan dan mencukupkan satu orang isteri adalah lebih dekat kepada tiada berbuat aniaya, yakni lebih mengantarkan keadilan, atau kepada tidak memiliki banyak anak yang harus kamu tanggung biaya hidupnya.
 
  1. KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan, persoalan poligami adalah persoalan budaya yang ada sejak ribuan tahun sebelum islam. Al-Qur’an di turunkan pada saat budaya poligami sangat mengakar, sehingga yang diperlukan saat itu adalah pembatasan dan kritik terhadap perilaku poligami yang menyimpang. Bisa dinyatakan bahwa poligami tidak ada kaitannya dengan keberagamaan seseorang, keimanan, ketakwaan dan ketaatan kepada Allah Swt. Justru yang terkait dengan keislaman dan keimanan adalah sejauh mana setiap orang bisa berbuat baik terhadap struktur social. Seperti yang diwariskan Nabi Saw pada saat haji wada’, semua orang diharuskan berbuat baik terhadap perempuan, menghargai dan mengagungkan mereka. Persoalan apakah monogami atau poligami yang lebih memartabatkan perempuan, selayaknya diserahkan kepada naluri perempuan.

  1. DAFTAR PUSTAKA
Mulia musdah, 1999 ,pandangan islam tentang poligami. Jakarta diterbitkan atas kerja sama lembaga kajian agama dan jender dan the asian foundation.
Ali as shobuni Muhammad, 1982, koreksi terhadap tuduhan poligami rosulullah Saw. Surabaya: al- ikhlas.
Haikal Abudttawab, 1988, rahasia perkawinan rosulullah saw poligami dalam islam vs monogamy barat. Jakarta: pedoman ilmu jaya.
Irawan sabtia Chandra, 2007, perkawinan dalam islam monogamy atau poligami?. Yogyakarta: an naba.
aj-jahrani musfir DR, 1996, poligami dari berbagai persepsi Jakarta: gema insani press.
Zahri mansur, fenomena pligami; perspektif fiqh perempuan ( artikel )
Zahri mansur, pointers bedah buku poligini nabi karya Abraham silo wilar
 ( artikel )
























           











[1] Musdah mulia, pandangan islam tentang poligamithe asian foundation Jakarta 1999 hlm.1

[2] Ibid hlm. 2
[3] Mansur zahri pointers bedah buku pligini nabi karya Abraham silo wilar, hlm.1
[4]    maksud dari padanya menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.

[5]     menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti :As aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.

[6]     berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-    lain yang bersifat lahiriyah.

[7]     Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar