Sabtu, 25 Desember 2010

MENILAI KUALITAS HADITS SHAHIH, HASAN DAN DHA’IF (ANALISIS CIRI DAN CONTOH HADITSNYA)

Dipresentasikan Dalam Mata kuliah Studi Qur'an dan Hadits
Dosen Pengampu: Prof. Dr. erfan Soebahar, MA

A.   PENDAHULUAN
Hadits, oleh umat islam diyakini sebagai sumber pokok ajaran islam sesudah Al-Qur’an. Dalam tataran aplikasinya, hadits dapat dijadikan hujjah keagamaan dalam kehidupan dan menempati posisi yang sangat penting dalam kajian keislaman. Secara struktural hadits merupakan sumber ajaran islam setelah Al-Qur’an yang bersifat global. Artinya, jika kita tidak menemukan penjelasan tentang berbagai problematika kehidupan di dalam Al-Qur’an, maka kita harus dan wajib merujuk pada hadits. Oleh karena itu, hadits merupakan hal terpenting dan memiliki kewenangan dalam menetapkan suatu hukum yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an.
Ditinjau dari segi kualitasnya, hadits terbagi menjadi dua yaitu, hadits Maqbul (hadits yang dapat diterima sebagai dalil) dan hadist Mardud (hadits yang tertolak sebagai dalil). Hadits Maqbul terbagi menjadi dua yaitu hadits Shahih dan Hasan, sedangkan yang termasuk dalam hadits Mardud salah satunya adalah hadits Dha’if. Semuanya memiliki ciri dan kriteria yang berbeda.
Kualitas keshahihan suatu hadits merupakan hal yang sangat penting, terutama hadits-hadits yang bertentangan dengan hadits, atau dalil lain yang lebih kuat. Dalam hal  ini, maka kajian makalah ini diperlukan untuk mengetahui apakah suatu hadits dapat dijadikan hujjah syar’iyyah atau tidak.

B.    HADITS SHAHIH, HASAN, DHA’IF (KLASIFIKASI, CONTOH DAN ANALISIS)
1.    HADITS SHAHIH
a.    Pengertian Hadits Shahih
أما الحديث الصحيح فهوالحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العادل الضابط إلى منتهاه ولايكون شاذا ولا معللا[1]
“Hadis shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dhabit sampai akhir sanadnya, tidak terdapat kejanggalan (syadz) dan cacat (‘Illat).


b.    Syarat-Syarat Hadits Shahih
1)      Sanadnya Bersambung
setiap perawi dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari perawi terdekat sebelumnya. Keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari suatu hadits. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rangkaian para perawi hadits shahih sejak perawi terakhir sampai kepada perawi pertama (para sahabat) yang menerima hadits langsung dari Nabi, bersambung dalam periwayatannya.[2]
Sanad suatu hadits dianggap tidak bersambung bila terputus salah seorang atau lebih dari rangkaian para perawinya. Bisa jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang rawi yang dha’if, sehingga hadits yang bersangkutan tidak shahih.[3]
2)      Perawinya Adil
Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang dapat mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, dan terjaganya sifat Muru’ah, yaitu senantiasa berakhlak baik dalam segala tingkah laku dan hal-hal lain yang dapt merusak harga dirinya.[4]
3)      Perwainya Dhabith
Seorang perwai dikatakan dhabit apabila perawi tersebut mempunyai daya ingat yang sempurna terhadap hadits yang diriwayatkannya.
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja manakala diperlukan. Ini artinya, bahwa orang yang disebut dhabit harus mendengar secara utuh apa yang diterima atau didengarnya, kemudian mampu menyampaikannya kepada orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana aslinya.[5]
4)      Tidak Syadz
Syadz (janggal/rancu) atau syudzuz adalah hadits yang bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah perawinya. Maksudnya, suatu kondisi di mana seorang perawi berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap syadz karena bila ia berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya hafalannya atau jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadz. Maka timbullah penilaian negatif terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.[6]
5)      Tidak Ber’illat
Hadits ber’illat adalah hadits-hadits yang cacat atau terdapat penyakit karena tersembunyi atau samar-samar, yang dapat merusak keshahihan hadits. Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari segi zahirnya, hadits tersebut terlihat shahih. Adanya kesamaran pada hadits tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak shahih. Dengan demikian, yang dimaksud hadits tidak ber’illat, ialah hadits yang di dalamnya tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan.
 ‘Illat hadis dapat terjadi baik pada sanad mapun pada matan atau pada keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad.[7]

c.       Klasifikasi Hadits Shahih
1.       Hadits Shahih li-Dzatihi
Hadits Shohih li-Dzatihi adalah suatu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang yang adil, dhabith yang sempurna, serta tidak ada syadz dan ‘Illat yang tercela.[8]
2.       Hadits Shahih li-Ghairihi
Adalah hadits yang belum mencapai kualitas shahih, misalnya hanya berkualitas hasan li-dazatihi, lalu ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya, maka hadits tersebut meningkat menjadi hadits shahih li-ghairihi. Ulama hadits mendefinisikan hadits shahih li-ghairihi.
هو ماكان رواته متأخراعن درجة الحا فظ الضا بط مع كونه مشهورا بالصدق حتى
 يكون حديثه حسنا ثم وجد فيه من طريق اخر مساو لطريقه أوارجح ما يجبر
 ذالك القصورالواقع فيه
 “Yaitu hadits shahih karena adanya syahid atau mutabi’. Hadits ini semula merupakan hadits hasan, karena adanya mutabi’ dan syahid, maka kedudukannya berubah menjadi shahih li-Ghairihi.”

2.    HADITS HASAN
a.    Pengertian Hadits Hasan
Hadits hasan ialah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh seorang yang adil tetapi kurang dhabit, tidak terdapat di dalamnya suatu kejanggalan (syadz) dan tidak juga terdapat cacat (‘Illat). Sehingga pengertian hadits hasan oleh para ulama mutahaddisin didefinisikan sebagai berikut:
مالايكون في اسناده من يتهم بالكدب ولا يكون شاذا ويروى من غير وجه نحوه
فى المعنى
ialah hadits yang pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh dusta, tidak terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya.”
Pada dasarnya, hadits hasan dengan hadits shahih tidak ada perbedaan, kecuali hanya dibidang hafalannya. Pada hadits hasan, hafalan perawinya ada yang kurang meskipun sedikit. Adapun untuk syarat-syarat lainnya, antara hadits hasan dengan hadits shahih adalah sama.[9]

b.    Klasifikasi Hadits Hasan
1.    Hadits Hasan li-Dzatih
Hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhabit meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada kejanggalan (syadz) dan cacat (‘Illat) yang merusak hadits.[10]
2.    Hadits Hasan li-Ghairih
Hadits yang pada sanadnya ada perawi yang tidak diketahui keahliannya, tetapi dia bukanlah orang yang terlalu benyak kesalahan dalam meriwayatkan hadits, kemudian ada riwayat dengan sanad lain yang bersesuaian dengan maknanya. Jumhur ulama muhaddisin memeberikan definisi tentang hadist hasan li-Ghairihi sebagai berikut:
مالايخلوإسناده من مستور لم تتحقق أهليته وليس مغفلا. كثير الخطاء ولاظهر
منه سبب مفسق, ويكون متن الحديث معروفا برويتة مثله أو نحوه من وجه آخر
Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.
Hadist hasan li-Ghairihi pada dasarnya adalah hadits dha’if. Kemudian ada petunjuk lain yang menolongnya, sehingga ia meningkat menjadi hadits hasan. Jadi, sekiranya tidak ada yang menolong, maka hadits tersebut akan tetap berkualitas dha’if.[11]

3.    HADITS DHA’IF
a.    Penegrtian Hadits Dha’if
الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح
ولا صفات الحديث
 “hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
Dengan demikian, jika hilang salah satu kriteria saja, maka hadits itu menjadi tidak shahih atau tidak hasan. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat maka hadits tersebut dapat dinyatakan sebagai hadits dhai’if yang sangat lemah.[12]  Karena kualitasnya dha’if, maka sebagian ulama tidak menjadikannya sebagai dasar hukum.[13]

b.      Klasifikasi Hadits Dha’if
1. Dha’if karena tidak bersambung sanadnya
a. Hadits Munqathi
Hadits yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih, atau pada sanadnya disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal.
b. Hadits Mu’allaq
Hadits yang rawinya digugurkan seorang atau lebih dari awal sanadnya secara berturut-turut.

c. Hadits Mursal
Hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Yang dimaksud dengan gugur di sini, ialah nama sanad terakhir tidak disebutkan. Padahal sahabat adalah orang yang pertama menerima hadits dari Rasul saw.
1). Mursal al-Jali
     Hadits yang tidak disebutkannya (gugur) nama sahabat dilakukan oleh tabi’in besar.
2). Mursal al-Khafi
Pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang masih kecil. Hal ini terjadi karena hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in tersebut meskipun ia hidup sezaman dengan sahabat, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadits.
                      d. Hadits Mu’dhal
hadits yang gugur rawinya, dua orang atau lebih, berturut-turut, baik sahabat bersama tabi'i, tabi'i bersama tabi' al-tabi'in maupun dua orang sebelum shahabiy dan tabi'iy.
d. Hadits Mudallas
yaitu hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits itu tidak terdapat cacat.[14]
                2. Dha’if karena tiadanya syarat adil
a. Hadits al-Maudhu’
Hadits yang dibuat-buat oleh seorang (pendusta) yang ciptaannya dinisbatkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta, baik sengaja maupun tidak.
b. Hadits Matruk dan Hadits Munkar
Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta (terhadap hadits yang diriwayatkannya), atau tanpak kefasikannya, baik pada perbuatan ataupun perkataannya, atau orang yang banyak lupa maupun ragu.
                3. Dha’if karena tiadanya Dhabit
a. Hadits Mudraj
hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal bukan (bagian dari) hadits
b. Hadits Maqlub
hadits yang lafaz matannya terukur pada salah seorang perawi, atau sanadnya. Kemudian didahulukan pada penyebutannya, yang seharusnya disebutkan belakangan, atau mengakhirkan penyebutan, yang seharusnya didahulukan, atau dengan diletakkannya sesuatu pada tempat yang lain.
c. Hadits Mudhtharib
hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda padahal dari satu perawi dua atau lebih, atau dari dua perawi atau lebih yang berdekatan tidak bisa ditarjih.
d. Hadits Mushahhaf dan Muharraf
Hadits Mushahhaf yaitu hadits yang perbedaannya dengan hadits riwayat lain terjadi karena perubahan titik kata, sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah. Hadits Muharraf yaitu hadits yang perbedaannya terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah.
4. Dha’if karena Kejanggalan dan kecacatan
a. Hadits Syadz
hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan tetapi bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama.
b. Hadits Mu’allal
hadits yang diketahui ‘Illatnya setelah dilakukan penelitian dan penyelidikan meskipun pada lahirnya tampak selamat dari cacat
                5. Dha’if dari segi matan
a. Hadits Mauquf
hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrirnya. Periwayatannya, baik sanadnya bersambung maupun terputus.
b. Hadits Maqthu
hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya, baik perkataan maupun perbuatannya. Dengan kata lain, hadits maqthu adalah perkataaan atau perbuatan tabi’in.

C.    KEHUJJAHAN HADITS SHAHIH, HASAN DAN DHA’IF
1.         Hadits yang berkualitas shahih, para ulama sepakat dapat dijadikan hujjah untuk masalah hukum dan lainnya.
2.         Hadits hasan, Imam Bukhari dan Ibnul Araby, menolaknya sebagai dalili untuk menetapkan hukum, namun ulama lain seperti al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzainah, dapat menerimanya sebagai hujjah, dengan syarat apabila hadits hasan tersebut ternyata isinya bertentangan dengan hadits yang berkualitas shahih, maka yang diambil haruslah hadits yang berkualitas shahih.
3.         Hadits dha’if, ada dua pendapat boleh atau tidaknya dijadikan sebagai hujjah. Pertama, Imam Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm dan Abu Bakar Ibnul Araby menyatakan, hadits dha’if sama sekali tidak boleh diamalkan, atau dijadikan hujjah, baik untuk masalah yang berhubungan dengan hukum maupun untuk amaliyah. Kedua, Imam Ahmad Ibn Hambal, Abdur Rahman bin Mahdi dan Ibnu Hajar al-Asqalany menyatakan, bahwa hadits dha’if dapat dijadikan hujjah (diamalkan) hanya untuk dasar keutamaan amal (Fadla’il amal) dengan syarat:
a.    Para rawi yang meriwayatkan  hadits itu tidak terlalu lemah
b.   Masalah yang dikemukakan hadits itu mempunyai dasar pokok yang ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Hadits shahih
c.    Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.
d.   Kandungan hadits tersebut berkenaan dengan kisah, nasihat, keutamaan, dan sejenisnya, serta tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, tafsir ayat Al-Qur’an, hukum halal dan haram
e.    Kedha’ifan hadits yang bersangkutan tidak terlalu parah
f.    Ada dalil lain (yang kuat atau memenuhi syarat) yang menjadi dasar pokok bagi hadits dha’if tersebut
g.    Amal yang dilakukan tidak diniatkan atas dasar petunjuk dari hadits dha’if tersebut, tetapi diniatkan atas dasar kehati-hatian (ihtiyath)

D.   DAFTAR PUSTAKA
A Qadir Hassan. Ilmu Musthalahul Hadits, Bandung: Diponegoro, 2007.

Al-Maliki, Muhammad bin Alwi. al-Manhal al-Lathif, Jeddah: Mathabi' Sahar, 1982.

Al-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar, Tadrib al-Rawi. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2002.

Al-Thohan, Mahmud. Taysir Musthalah al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Thohan, Mahmud. Taysir Musthalah al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr.

Rahman, Fathurhur. Ikhtisar Musthalahul Hadits, Bandung: PT al-Ma’arif, 1970.

Mahmud al-Thahan, Taysir Musthalah Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.)

Mudasir, Ilmu Hadits, Bandung: Pustaka Setia.

Nuruddin, ‘Ulumul Hadits 2, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.

Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalah al-Hadits.Bandung: al-Maarif, tt.

Shahih al-Bukhari.

Shahih at-Turmudzy.

Ismail, Suhudi, Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Angkasa, 1991.

Ismail, Suhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

Ismail, Syuhudi, Keadaan Kesahihan Sanad Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1995.

Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: Radja Grafindo Persada, Cet. Ke-III, 2002

Yuseran Salman, Hadits-Hadits Thaharah Dalam Kitab Bidayah al-Mujtahid; Studi Kualitas Hadits & Implikasinya dalam Istinbath Hukum, Jogyakarta: UII Press, 2001.




[1] Ibnu al-Shalah, Ulum al-Hadits, yang kemudian dikenal dengan Muqaddimah Ibnu al-Shalah, (Madinah: al-Maktabah al-Islamiyah, 1995), cet. ke-I, hlm. 10, dikutip dari Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: Radja Grafindo Persada, cet. ke-III, 2002, hlm. 129. Lihat juga Al-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar. Tadrib al-Rawi. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2002, hlm. 27.
[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta: Radja Grafindo Persada, cet. ke-III, 2002, hlm. 130.
[3] Nuruddin, Ulumul Hadits 2, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994, hlm. 2.
[4] Ibid., Munzier...., lihat juga  Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Angkasa, 1991, hlm. 179.
[5] Ibid, hlm. 132.
[6] Nuruddin...hlm. 3.
[7] Munzier Suparta...., hlm. 133-134. 
[8] A Qadir Hassan, Ilmu Musthalahul Hadits, Bandung: Diponegoro, 2007, hlm. 29.
[9] Ibid., hlm. 182.
[10] Ibid., Munzier Suparta..., hlm. 145.
[11] Suhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 182.
[12] Mudasir, Ilmu Hadits, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 157.
[13] Yuseran Salman, Hadits-Hadits Thaharah Dalam Kitab Bidayah al-Mujtahid; Studi Kualitas Hadits & Implikasinya dalam Istinbath Hukum, Jogyakarta: UII Press, 2001.  
[14] Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah al-Hadits, Bandung: al-Maarif. tt., hlm. 204-224.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar