Sabtu, 20 November 2010

PERDEBATAN QIYAS DALAM ISLAM

Dipresentasikan oleh: Sakirman, pada tanggal 21 Oktober 2010 dalam
mata kuliah Ushul Fiqh, Dosen Pengampu: Dr. Imam Yahya, MA

1.        PENDAHULUAN
Dalam tradisi hukum Islam kita mengenal adanya sumber-sumber hukum; yaitu al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan qiyas. Al-Qur’an merupakan sumber utama hukum Islam. Karenanya dalam perujukan hukum-hukum Islam al-Qur’an haruslah dikedepankan. Bila dalam al-Qur’an tidak ditemukan maka beralih kepada al-Sunah karena al-Sunah adalah penjelas bagi kandungan al-Qur’an. Apabila di dalam al-Sunah tidak ditemukan maka beralih kepada Ijma’ karena sandaran Ijma’ adalah nash-nash al-Qur’an dan al-Sunah. Bila dalam Ijma’ tidak ditemukan maka haruslah merujuk kepada qiyas. Karena qiyas merupakan suatu perangkat untuk melakukan ijtihad. Dalam posisi ini, qiyas menempati rangkin keempat sebagai sumber hukum Islam.
Namun, yang menjadi permasalahan adalah eksistensi qiyas itu sendiri sebagai salah satu sumber hukum Islam. Dalam kajian hukum Islam, qiyas menjadi salah satu sebab dari berbagai macam sebab lainnya yang menimbulkan silang pendapat diantara para ulama. Karena tidak adanya dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa qiyas dapat dijadikan sumber hukum Islam. Madzhab Syi’ah Imamiyah dan madzhab Zahiriyah misalnya, mereka tidak mengakui keberadaan qiyas apalagi menerima atau menggunakannya sebagai salah satu sumber hukum Islam. Sedangkan di kalangan ulama–ulama lainnya seperti ulama jumhur dan madzhab Syi’ah Zaidiyah menerima qiyas sebagai sumber hukum Islam.
Dari elaborasi singkat di atas ternyata eksistensi qiyas  masih problematis sebagai salah satu sumber hukum Islam. Oleh karena itu dalam penulisan makalah ini lebih ditekankan kepada perdebatan qiyas sebagai sumber hukum Islam. Mari kita diskusikan!

2.       PEMBAHASAN
A.   PENGERTIAN QIYAS
Secara etimologi, qiyas merupakan bentuk masdar dari kata qâsa- yaqîsu, (يقيس - قاس) yang artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu.[1] Dalam buku Amir Syarifudin dijelaskan bahwa qiyas berarti qodaro (قدر) yang artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya. Sebagai contoh, "Fulan Meng-qiyas-kan baju dengan lengan tangannya", artinya membandingkan antara dua hal untuk mengetahui ukuran yang lain. Secara bahasa juga berarti "menyamakan", dikatakan "Fulan meng-qiyas-kan extasi dengan minuman keras", artinya menyamakan antara extasi dengan minuman keras.[2] 
Dalam perkembanganya, kata qiyas banyak digunakan sebagai ungkapan dalam upaya penyamaan antara dua hal yang berbeda, baik penyamaan yang berbentuk inderawi, seperti pengqiyasan dua buah buku. Atau pengqiyasan secara maknawiyah, misalnya "Fulan tidak bisa diqiyaskan dengan si Fulan", artinya tidak terdapat kesamaan dalam bentuk ukuran.
Adapun arti qiyas secara terminologi menjadi perdebatan ulama, antara yang mengartikan qiyas sebagai metode penggalian hukum yang harus tunduk pada nash, dan yang mengartikan qiyas sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri di luar nash. Menurut ulama ushul fiqh, Pengertian qiyas secara terminologi sebagaimana yang dipaparkan Amir Syarifuddin terdapat beberapa definisi, diantaranya:
1)     Al-Ghazali dalam al-Mustasfa mendefinisikan qiyas:
حمل معلوم على معلوم في إثبات حكم لهما أو نفيه عنهما بأمر جا مع بينهما من إثبات حكم أو نفيه عنهما
Artinya: “Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.”

2)     Ibnu subki dalam bukunya Jam’u al-Jawmi memberikan definisi qiyas:
حمل معلوم على معلوم لمسا واته في علة حكمه عند الحامل
Artinya: “Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaannya dalam ‘‘Illat hukumnya menrut pihak yang menghubungkan (Mujtahid).”

3)     Imama Baidhowi dan mayoritas ulama Syafi'iyyah mendefinisikan qiyas:
إثبات مثل حكم معلوم في معلوم آخر لإشترا كهما في علة الحكم عند المثبت
Artinya: "Membawa (hukum) yang (belum) di ketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun sifat."

4)     Qiyas menurut Abu Zahrah adalah:
إلحاق أمر غير منصوص على حكمه بأمر آخر منصوص على حكمه لإشترا كها في علة الحكم
Artinya: “Menghubungkan sesuatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam ‘Illat hukum.”

 
5)     DR. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas:
التعر يف الاول : للقاضى الباقلاني واختاره جمهور المحققين من الشافعين: وهو حمل معلوم على معلوم في إثبات حكم لهما أو نفيه عنهما بأمر جامع بينهما من حكم أو صفة.
Artinya; “Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan ‘Illat antara keduanya”

6)     Menurut ulama ushul fiqh, qiyas ialah menetapkan hukum dari suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan '‘Illat antara kedua kejadian atau peristiwa tersebut.[3]
Sekalipun terdapata perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqih diatas, tetapi mereka sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal (استنباط الحكم وإنشا ئه) melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum (الكشف والإظهارالحكم) pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya. Penyingkapan dan penjelasan ini dilakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap ‘Illat[4] dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila ‘Illat-nya sama dengan ‘Illat  hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah hukum yang telah ditentukan oleh nash.[5]
Jadi qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum. Karena itu tugas pertama yang harus dilakukan oleh seseorang yang akan melakukan qiyas, ialah mencari apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar-benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan qiyas.[6]

3.       CONTOH PENGGUNAAN METODE QIYAS
Ketika seorang mujtahid ingin mengetahui hukum yang terdapat pada Bir, Wisky atau Tuak. Kemudian setelah seorang mujtahid merujuk kepada nash al-Qur’an ternyata tidak satu pun nash yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Maka untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas yakni mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah Swt dalam surat al-Maidah ayat: 90-91.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.
Zat yang memabukkan itulah yang menjadi penyebab di haramkannya Khamr. Haramnya meminum khamr tersebut berdasarkan ‘Illat hukumnya yakni memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya yang ‘Illat-nya sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.[7]
Dengan demikian, mujtahid tersebut telah menemukan hukum untuk bir, wisky atau tuak yaitu sama dengan hukum khamr, karena ‘Illat keduanya adalah sama. Kesamaan ‘Illat antara kasus yang tidak ada nash-nya dengan hukum yang ada nash-nya menyebabkan adanya kesatuan hukum.
Dalam contoh lain Rasulullah bersabda:
لايرث القاتل
Artinya: “Pembunuh tidak berhak mendapatkan bagian warisan.”
Menurut hasil hasil penelitian mujtahid, yang menjadi ‘Illat tidak berhaknya pembunuh menerima warisan dari harta pewaris yang ia bunuh adalah upaya untuk mempercepat mendapatkan harta warisan dengan cara membunuh. ‘Illat semacam ini terdapat juga kasus seseorang membunuh orang yang telah menentukan wasiat baginya. Oleh sebab itu, pembunuh orang yang berwasiat dikenai hukuman yang sama dengan hukuman orang yang membunuh ahli warisnya, yaitu sama-sama tidak berhak memperoleh harta warisan dan wasiat.
Contoh di atas dapat diilustrasikan sebagai berikut; A telah menerima wasiat dari B bahwa ia akan menerima sebidang tanah yang telah ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin segera memperoleh tanah yang diwasiatkan, karena itu dibunuhnyalah B. Timbul persoalan: Apakah A tetap memperoleh tanah yang diwasiatkan itu? Untuk menetapkan hukumnya dicarilah kejadian yang lain yang ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan '‘Illat-nya. Perbuatan itulah pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya, karena ingin segera memperoleh harta warisan.
                                            Berdasarkan beberapa contoh di atas dapat dilihat bahwa dalam melakukan qiyas ada satu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya sedang tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar hukumnya untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian itu, dicarilah peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kedua peristiwa atau kejadian itu mempunyai '‘Illat yang sama pula. Kemudian ditetapkanlah hukum peristiwa atau kejadian yang pertama sama dengan hukum peristiwa atau kejadian yang kedua.

4.     KEHUJJAHAN QIYAS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
          Kedudukan qiyas sebagai sumber hukum mendapat tanggapan yang beragam dikalangan ulama ushul fiqh. Pada dasarnya, ulama ushul fiqh sepakat akan kebolehan penggunaan dan kehujahan qiyas dalam masalah duniawi, seperti penalaran qiyas dalam hal obat-obatan dan makanan. Ulama ushul fiqh juga sepakat atas kehujahan qiyas yang dilakukan Rasulullah semasa hidupnya. Adapun perbedaan mereka adalah dalam hal penggunaan qiyas terhadap hukum syari’at yang tidak ada nashnya secara jelas. Secara lebih terperinci, ulama ushul fiqh terpetakan menjadi lima golongan dalam menyikapi qiyas sebagai metode penetapan hukum;
1)       Pendapat jumhur ulama ushul fiqh, mengatakan bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode atau sarana mengistinbatkan hukum syara’. Bahkan menurut jumhur, mengamalkan qiyas adalah wajib. Jumhur Ulama yang menjadikan qiyas sebagai landasan hukum, mereka menggunakan qiyas dalam suatu peristiwa yang tidak terdapat hukumnya dalam nash al-Qur’an, as-Sunnah ataupun Ijma’ para sahabat. Mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampaui batas kewajaran. qiyas menduduki peringkat keempat diantara hujjah syar’iyyah dengan pengertian apabila dalam suatu kasus tidak ditemukan hukumnya berdasarkan nash al-Qur’an, sunnah dan ijma’ dan diperoleh ketetapan bahwa kasus itu menyamai suatu kejadian yang ada nash hukumnya dari segi ‘Illat hukumnya, maka kasus itu diqiyaskan dengan kasus tersebut dan ia diberi hukum yang sama, dan hukum itu merupakan hukumnya menurut syara’.[8]
2)       Pendapat ulama Zhahiriyyah, termasuk Imam al-Syawkani, bahwa secara logika, qiyas memang diperbolehkan, tetapi tidak ada satu nash pun dalam al-Qur’an yang menyatakan wajib melaksanakannya. Kelompok ulama Zahiriyah dan Syi’ah Imamiyah mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas sebagai landasan hukum. Mazhab Zahiriyah tidak mengakui adalanya ‘Illat atas suatu hukum dan  menganggap tidak perlu sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan ‘Illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.[9]
3)       Pendapat syi’ah Imamiyah dan al-Nazhzham dari mu’tazilah, berpendapat bahwa qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan, karena kewajiban mengamalkan qiyas adalah sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal.
4)       Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Mereka pun berusaha menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan ‘Illat diantara keduanya, kadang-kadang memberi kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas, sehingga qiyas itu dapat membatasi keumuman sebagaian ayat al-Qur’an dan as-Sunnah.[10]
        Setelah mengemukakan berbagai benpatapat ulama ushul fiqh tentang kehujahan qiyas, wahbah al-Zuhaili, menyimpulkan bahwa dari beberapa pendapat yang beragam itu dapat dipilah dalam dua kelompok:

1)  Kelompk yang Menerima Qiyas sebagai Sumber Hukum
            Salah satu nash al-Qur’an yang dikemukakan Jumhur ulama fiqh dalam melejitimasi qiyas sebagai sumber hukum ialah: Qur’an surat an-Nisa: 59
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
          Kata فإن تنزعتم فى شئ فردوه إلله والرسول pada ayat diatas berarti perintah untuk mengikuti qiyas apabila terdapat perbedaan dalam penetapan hukum yang tidak terdapat dalam nash. Ayat di atas juga menunjukkan bahwa,  jika ada perselisihan pendapat diantara ulama tentang hukum suatu maslah, maka jalan keluarnya dengan mengembalikannya kepada al-Qur’an dan Sunnah. Cara mengembalikannya yaitu dengan melakukan qiyas.[11]
          Berdasarkan ayat di atas, manusia diperintahkan mencari hukum dari hukum Allah dan Rasul-Nya, baik yang tekstual maupun yang kontekstual. Sesuatu yang kontekstual atau implisit itu yang disebut qiyas. Oleh karena itu, secara tidak langsung, ketika manusia menghadapi suatu problema hukum yang tidak ditemukan nashnya secara jelas, diperintahkan untuk menggunakan jalan qiyas.[12] Berdasarkan ayat tersebut, aplikasi qiyas dalam istinbat hukum merupakan hal yang diperbolehkan, bahkan diperintahkan.
          Adapun salah satu dalil sunnah yang dikemukakan Jumhur Ulama sebagai argumentasi bagi pengguna qiyas adalah hadits mengenai percakapan Nabi dengan Mu’ad ibn Jabal yang amat populer, Ketika itu Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadli. Rasulullah melakukan dialog secara langsung dengan Mu’adz ibn Jabal, seraya berkata:

عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:"كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟"، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ:"فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟ "قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:"فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟"قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ:"الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ"

“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”.  Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”.[13]
          Hadits tersebut merupakan dalil Sunnah yang kuat menurut Jumhur Ulama, tentang landasan hukum dalam penetapan qiyas. Hadist di atas menurut mayoritas ulama ushul fiqh mengandung pengakuan Rasulullah terhadap qiyas, karena praktek qiyas adalah satu macam atau perangkat dari kegiatan ijtihad yang mendapat pengakuan dari Rasulullah dalam dialog tersebut.[14] Menurut jumhur ulama ushul fiqih, Rasulullah mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas  termasuk salah satu ijtihad melalui akal.

2)    Kelompok yang Menolak Qiyas sebagai Sumber Hukum
          Alasan penolakan qiyas sebagai dalil dalam menetapkan hukum menurut kelompok yang menolaknya yakni mazhab Zahiri  dan Syi’ah. Dikarenakan qiyas merupakan aktivitas akal, dalam aplikasinya qiyas menuai kontroversi dikalangan ulama.
          Kelompok Zahriyah berpendapat bahwa ayat nash al-Qur’an surat an-Nisa ayat 59 di atas menurut kelompok Zahiriyah dan Syi’ah mengatakan bahwa perintah Allah untuk mengembalikan sesuatu kepada Allah ketika terdapat beda pendapat yaitu kepada firman-Nya dalam al-Qur’an. Dan mengembalikan sesuatu kepada Nabi yaitu sabdanya dalam sunnah. Tidak ada perintah untuk mengembalikan sesuatu kepada qiyas. Jelas bahwa selain al-Qur’an dan sunnah tidak dapat dijadikan rujukan ketika terjadi perbedaan pendapat. Qiyas menurut Zahiriyah, bukan al-Qur’an atau sunnah; karenanya tidak suatu persoalan hukum ada yang dapat dikembalikan kepada qiyas.
          Kemudian, kelompok Zuhairi menolak hadits Mu’ad ibn Jabal sebagai landasan penetapan qiyas kelompok tersebut berargumen bahwa dari segi matan (teks) dan sanad (periwayata) hadits tersebut dianggap gugur. Indikasi gugurnya hadits Mu’ad ibn Jabal tersebut adalah: Pertama, hadits tersebut diriwayatkan dari suatu kaum yang namanya tidak diketahui, karenanya tidak dijadikan hujah atas orang-orang yang tidak mengetahui siapa perawinya. Kedua, dalam urutan perawinya terdapat Harits ibn ‘Amru yang tidak pernah mengemukakan hadits selain dari jalur ini.[15] Artinya dari segi periwayatan dan perawinya hadits tersebut masih diperselisihkan kebenarannya.
          Kelompok ulama Zahiriyah juga menilai bahwa hadits tersebut adalah Maudhu’ (dibuat-buat) dan jelas kebohongannya, karena mustahil ada hukum yang tidak dijelaskan dalam al-Qur’an. Menurutnya permasalahan hukum apapun sudah dijelaskan dalam al-Qur’an.
          Menurut pendapat Zahiriyah, hadits Muad ibn Jabal tidak sedikitpun menyebut tentang qiyas. Dalam hadits itu hanya disebutkan penggunaan ra’yu, penggunaan ra’yu tidaklah berarti qiyas. Ra’yu itu hanyalah menetapkan hukum dengan cara terbaik dan lebih hati-hati. Sedangkan qiyas menetapkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya.[16]

 
5.     RUKUN-RUKUN QIYAS
1)  Al-Ashlu[17] (الأصل)
Para fuqaha mendefinisikan al-Ashlu sebagai objek qiyas, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya al-Maqîs 'Alaihi (مقيس عليه) dan Musyabbah Bih  (مشبه به) yaitu tempat menyerupakan, juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash (al-Qur’an Hadits, Ijma’). Misalnya, Khamar yang ditegaskan keharamannya dalam surat al-maidah: 90.
Contoh, pengharaman ganja sebagai qiyas dari minuman keras adalah dengan menempatkan minuman keras sebagai sesuatu yang telah jelas keharmannya, karena suatu bentuk dasar tidak boleh terlepas dan selalu dibutuhkan. Dengan demiklian maka al-Ashlu adalah objek qiyas, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya.
Ahmad Hanafi sebagaimana yang dikutip Satria Efendi mengemukakan beberapa syarat al-Ashlu antara lain:
a)       Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok (Ashal). Kalau sudah tidak ada, misalnya sudah dihapuskan (Mansukh) di masa Rasulullah, maka tidak mungkin terdapat pemindahan hukum.
b)      Hukum yang terdapat pada Ashal itu hendaklah hukum syara’
c)       Hukum Ashl bukan merupakan hukum pengecualian seperti sahnya puasa orang yang lupa, meskipun makan dan minum.

2)     Adanya hukum Ashal (حكم الأصل), yaitu hukum syara’ yang terdapat pada Ashal yang hendak ditetapkan pada Far’u (cabang) dengan jalan qiyas. Syarat-syarat hukum ashal menurut Abu Zahrah, antara lain:
a)     Hukum ashal hendaknya hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan, karena yang menjadi kajian ushul fiqh adalah hukum yang menyangkut amal perbuatan.
b)    Hukum ashal dapat ditelususri ‘‘Illat hukumnya, seperti hukum haramnya khamar dapat ditelusuri mengapa khamar itu diharamkan, yaitu karena memabukkan. Bukan hukum-hukum yang tidak dapat diketahui ‘‘Illat hukumnya (غير معقول معنى), seperti masalah bilangan makna.[18]
c)     Hukum ashal itu lebih dahulu disyari’atkan dari Far’u, dalam hal ini tidak boleh mengqiyaskan wudhu dengan tayamum, sekalipun ‘‘Illat-nya sama, karena syari’at wudhu dahulu turunnya dari pada tayamum.
3)     Far’u[19] (فرع) yaitu sesuatu yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam al-Qur’an, Sunnah, atau Ijma’ yang hendak ditemukan hukumnya melalui qiyas.  
Para ulama Ushul Fiqh mengemukakan empat syarat yang harus dipenuhi:
a.      ‘Illat-nya sama dengan ‘Illat yang ada pada nash, baik pada zatnya maupun pada jenisnya, contoh ‘‘Illat yang sama zatnya adalah mengqiyaskan wisky pada khamar, karena keduanya sama-sama memabukkan dan yang memabukkan itu sedikit atau banyak, apabila diminum hukumnya haram. ‘‘Illat yang ada pada wisky sama zat atau materinya dengan ‘‘Illat yang ada pada khamar. Contoh yang jenisnya sama adalah mengqiyaskan wajib qishas atas perbuatan sewenag-wenang terhadap anggota badan kepada qishash dalam pembunuhan, karena keduanya sama-sama perbuatan pidana.[20]
b.     Hukum ashal tidak berubah setelah diqiyaskan.
c.      Hukum Far’u tidak mendahului hukum ashal, artinya hukum Far’u itu harus datang kemudian dari hukum ashl.
d.     Tidak ada nash atau’Ijma yang menjelaskan hukum Far’u, artinya tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum Far’u dan hukum itu bertentangan dengan qiyas, karena jika demikian, maka status qiyas ketika itu bisa bertentangan dengan nash atau ijma’.
4)  ‘Illat (علة)
a. Pengertian ‘Illat
      Secara etimologi, ‘Illat berarti nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain.[21] Misalnya, memabukkan adalah sifat yang ada pada khamar yang menjadi dasar pengharamannya, dengan adanya sifat memabukkan inilah diketahui pengharaman terhadap semua minuman keras yang memabukkan.
      Secara terminologi, terdapat beberapa definisi ‘Illat yang dikemukakan ulama ushul fiqh. Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian ulama Hanbaliyah dan Imam Baidhawi (tokoh ushul fiqh Syafi’iyyah), merumuskan definisi ‘Illat sebagai berikut:
العلة هي : الوصف المعرف للحكم
‘Illat ialah; “Suatu sifat (yang berfungsi) sebagai pengenal bagi suatu hukum.”
Maksud sebagai pengenal bagi suatu hukum ialah, apabila terdapat suatu ‘Illat pada sesuatu, maka hukum pun ada, karena dari keberadaan ‘Illat itulah hukum itu dikenal. Kalimat ‘sifat pengenal’ dalam rumusan definisi tersebut, menurut mereka, sebagai tanda atau indikasi keberadaan suatu hukum.[22]

b.    Syarat-Syarat ‘‘Illat
Para Ulama ushul Fiqh mengemukakan sejumlah syarat ‘Illat yang dapat dijadikan sebagai sifat dalam menentukan suatu hukum, diantaranya adalah:
1)     ‘Illat mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum. Maksudnya, fungsi ‘Illat adalah bagian dari tujuan disyari’atkannya hukum, yaitu untuk kemaslahatan umat manusia.
2)     ‘Illat itu adalah suatu sifat yang jelas, nyata (ظاهره) dan dapat ditangkap indera manusia. Karena ‘Illat merupakan pertanda adanya hukum. Contohnya: sifat memabukkan bagi haramnya khamar dan minuman keras lainnya. Sifat memabukkan itu jelas, dapat disaksikan dan dapat dibedakan dengan sifat serta keadaan lain. Karena jelasnya, maka ‘Illat itu dapat diketahui hubungannya dengan hukum.
3)       ‘Illat itu dapat diukur dan berlaku untuk semua orang. Maksudnya, ‘Illat itu memiliki hakikat tertentu dan terbatas, berlaku untuk setiap orang dan keadaan. Misalnya, pembunuhan merupakan ‘Illat yang menghalangi seseorang mendapatkan harta warisan dari orang yang dibunuh. ‘Illat ini bisa diterapkan kepada pembunuh dalam kasus wasiat.
4)       Harus ada hubungan keserasian dan kelayakan antara hukum dengan sifat yang akan menjadi ‘Illat. Maksudnya, ‘Illat yang ditentukan berdasarkan analisis mujtahid sesuai dengan hukum yang diqiyaskan. Contohnya; sakit menjadi ‘Illat bolehnya seseorang membatalkan puasa. Sifat yang tidak ada hubungan kesesuaian dengan hukum tidak dapat dijadikan ‘Illat, seperti mengantuk dijadikan ‘Illat bagi bolehnya berbuka puasa.
5)       ‘Illat itu tidak bertentangan dengan nash atau ijma’.
6)       ‘Illat itu tidak datang belakangan dari hukum Ashl. Maksudnya, hukumnya telah ada, baru datang ‘Illat-nya.[23]

c.      Cara Mengetahui ‘Illat
‘Illat menempati posisi penting dalam permasalahan qiyas, karena sangat menentukan ada tidaknya qiyas. Berdasarkan hal tersebut, maka ulama begitu antusias untuk memperbincangkannya, terlebih dalam hal bagaimana suatu ‘Illat ditentukan. Para ulama ushul fiqh menetapkan bahwa illat suatu hukum dapat diketahui melalui:
1)     Melalui nash; baik ayat-ayat al-Quar’an maupun hadits baik secara tegas atau tidak tegas. Contoh ‘Illat yang disebut secara tegas dalam surat al-Hasyar: 7 dan contoh ‘Illat yang diketahui dengan dalil yang tidak tegas dalam surat al-Baqarah: 222.
2)     Mengetahui ‘Illat dengan cara Ijma’
3)     Mengetahui ‘Illat dengan cara Ijtihad, dan hasilnya dikenal dengan ‘Illat Mustanbathah (‘Illat yang dihasilkan dengan jalan ijtihad).[24]

6.     MACAM-MACAM QIYAS
              Seperti yang dikemukakan wahbah az-Zuhaili, dari segi perbandingan, antara ‘Illat yang terdapat pada ashal (pokok tempat meng-qiyas-kan) dan yang terdapat pada cabangnya, qiyas dibagi menjadi tiga:
1.      Qiyas Awlawi (قياس أولوي) yaitu qiyas yang hukumnya pada Far’u lebih kuat daripada hukum ashal. Karena ‘Illat yang terdapat pada Far’u lebih kuat dari yang ada pada ashal. Misalnya; mengqiyaskan memukul kepada ucapan “ah”.
فلا تقل لهما اف
Artinya; “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” (QS. Al-Isra: 23)
Para ulama ushul fiqh mengatakan bahwa ‘Illat larangan ini adalah menyakiti orangtua. Keharaman memukul orangtua lebih kuat daripada sekedar mengatakan “ah” karena sifat “menyakiti” melalui pukulan lebih kuat daripada ucapan “ah”.
2.      Qiyas Musawi (قياس مساوي), yaitu qiyas yang hukumnya pada Far’u sama kualitasnya dengan hukum yang ada pada ashal, karena kualitas ‘Illat pada keduanya juga sama. Misalnya; Allah berfirman dalam surat an-Nisa: 2.
Artinya; “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu......
Ayat di atas melarang makan harta anak yatim secara tidak wajar. Para ulama ushul fiqh mengqiyaskan membakar harta anak yatim kepada memakan harta secara tidak wajar, karena kedua sikap itu sama-sama menghabiskan harta anak yatim dengan cara zhalim.
3.      Qiyas al-Adna (قياس الأدوان) yaitu qiyas dimana ‘Illat yang terdapat Far’u lebih lemah dibandingkan dengan ‘Illat yang ada pada ashal. Artinya, ikatan ‘Illat yang ada pada Far’u sangat lemah dibanding ikatan ‘Illat yang ada pada ashal. Misalnya, sifat memabukkan yang terdapat dalam minuman keras bir umpamanya lebih rendah dari sifat memabukkan yang terdapat pada minuman keras khamar yang diharamkan. Meskipun pada ashal dan cabang sama-sama terdapat sifat memabukkan sehingga dapat diberlakukan qiyas.[25]
          Sedangkan dilihat dari segi kejelasannya ‘Illat sebagai landasan hukum, seperti yang dikemukakan wahbah az-Zuhaili, qiyas  dapat dibagi menjadi;
1.      Qiyas al-Jali (قياس جلي), yaitu; qiyas yang ‘Illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan hukum ashal; atau nash tidak menetapkan ‘Illat-nya, tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh perbedaan antara ashal dengan Far’u. Misalnya, ‘Illat yang ditetapkan nash bersamaan dengan hukum ashal adalah mengqiyaskan memukul orangtua kepada ucapan “ah” yang ‘Illat-nya sama-sama menyakiti orangtua.[26]
2.      Qiyas al-Khafi (قياس خفي) yaitu qiyas yang ‘Illat-nya tidak disebutkan dalam nash. Misalnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam dalam memberlakukan hukum qishash, karena ‘Illat-nya sama-sama pembunuhan sengaja dengan unsur permusuhan. Dalam kasus seperti ini, ‘Illat pada hukum ashal, yaitu pembunuhan dengan benda tajam, lebih kuat daripada ‘Illat yang terdapat pada Far’u, yaitu pembunuhan dengan benda keras.[27]

 7.     KESIMPULAN
Jumhur ulama sepakat bahwa qiyas merupakan Hujjah Syar’iyyah dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara qiyas dengan persamaan Illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syari’.
Menurut an-Nazzam dan para pengikutnya seperti, Abu Dawud az-Zahiri serta sebagian aliran Syi’ah tidak menggunakan qiyas sebagai sumber hukum dan tidak sah menjadikan qiyas sebagai hukum syari’at. Para pengikut mazhab Zuhairi justru mengingkari qiyas, dan menjadikan sumber segala pengetahuan terbatas hanya pada penunjukkan nash dan ijma’ semata.
Penulis sepakat bahwa qiyas merupakan salah satu pintu rahmat, yang dapat memberikan petunjuk kepada umat Islam menuju cahaya terang al-Qur’an dan al-Sunnah. Dengan qiyas umat Islam dapat melihat jelas arah yang akan dijadikan muara dari hukum halal-haram bagi kasus-kasus baru. Dengan qiyas pula umat Islam dapat merancang dan mencari solusi dari persoalan kehidupan yang berdasarkan dari penjelasan teks-teks agama. Jika tidak demikian, umat Islam justru akan terjebak dalam wilayah yang sama-sama ‘menyesatkan’ sehingga umat Islam akan; menetapkan keputusan semua persoalan yang dihadapi berdasar hawa nafsu tanpa tahu persis yang sebenarnya, umat Islam akan stagnan tidak melangkah lebih maju.
Karena itu, kita tidak bisa menerima pandangan orang-orang yang tidak mengakui otoritas qiyas dalam menetapkan hukum syari’at. Karena jika kita mengikuti pandangan itu, kita telah membuat penjara bagi umat Islam dengan cara mengunci rapat-rapat pintu ijtihad.  Wallahu’alam!!!

 8.     DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim al-Khatib., Ijtihad; Menggerakkan Potensi Dinamis Hukum Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
      Abdul Whhab Khallaf., Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.
Amir Syarifuddin., Ushul Fiqh Jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Effendi, Satria., Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Haroen, Nasrun., Ushul Fiqh 1, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997.
Muhammad Roy., Ushul Fiqh Madzhab, Aristoteles, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004.







[1] Ahmad Warsono Munawwir, Kamus al-Munawir, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984.
[2]  Lihat Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997,  hlm. 144.
[3] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 173.
[4] Maksudnya, ‘Illat yang ada pada satu nash sama dengan ‘Illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan ‘Illat ini, maka hukum kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.
[5] Satria Efendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 130.
[6] Menerut Imam Syafi’i, tidak boleh melakukan qiyas kecuali orang yang telah berhasil memiliki alat-alat qiyas, yaitu; mengetahui hukum-hukum al-Qur’an yakni fardu (kewajiban), adab (kesusasteraan), nasikh mansukh (yang menghapus dan yang dihapus), ‘amm-khas (umum-khusus), irsyad (petunjuk) dan nadb-nya (anjurannya). Lihat Abdul Karim al-Khatib, Ijtihad...., hlm. 87-88.
[7] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 53.
[8] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 53
[9] Abdul Karim Al-Khatib, Ijtihad Menggerakkan Potensi Dinamis Hukum Islam, Jakarta: Gaya Media   
[10] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 150.
[11] Lihat, Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, hlm. 154. Lihat pula Satria Efendi, Ushul Fiqh, hlm. 131.
[12] Muhammad Roy, Ushul Fiqh Mazhab Aristoteles; Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Ushul Fiqih, Yogyakarta: Safarina Insania Press, hlm. 55.
[13] Hadits diriwayatkan al-Thabrani (lihat: al-Mu’jam al-Kabir, Juz 15), hlm. 96.
[14] Lihat Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 56.
[15] Lihat  Amir Syarifuddin..., hlm. 155.
[16] Ibid., Amir Syarifuddin...., hlm. 156.
[17] Al-ashlu terkadang disebut juga dengan istilah مقيس عليه, yaitu tempat mengqiyaskan sesuatu, atau disebut juga محل الحا كم المشبه به, yaitu tempat yang di dalamnya terdapat hukum yang akan disamakan hukumnya kepada tempat lain. Ia suatu saat juga disebut denganدليل الحكم , yaitu sesuatu yang memberi petunjuk tentang adanya hukum, atau حكم المحل, yaitu hukum bagi suatu tempat. Lihat Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm. 165.
[18] Satria Efendi, Ushul Fiqh, hlm. 134.
[19] Istilah Far’u, terkadang disebut juga dengan ashl, atau محل المشبه, yaitu tempat yang hukumnya diserupakan dengan yang lain, dan ada juga yang menyebut حكم المحل المشبه, yaitu hukum dari tempat yang disamakan. Lihat Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm. 166.
[20] Nashroen Harun, Ushul Fiqh I, hlm. 75.
[21] Nasrun Haruoen.., hlm. 76.
[22] Ibid., hlm. 77.
[23] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm. 175-176. Bandingkan dengan Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, hlm. 83-84.
[24] Satria Efendi, Ushul Fiqh, hlm. 137-140
[25] Satria Efendi, Ushul Fiqh, hlm. 141.
[26] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, hlm. 96.
[27] Ibid., hlm, 97.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar