Sabtu, 20 November 2010

PERNIKAHAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

1.    Pendahuluan

Salah satu ajaran yang penting dalam Islam adalah pernikahan (perkawinan). Begitu pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut sehingga dalam Alquran terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai masalah pernikahan dimaksud ( al – Baqi, 1987:  332-333 dan 718).

Nikah artinya menghimpun atau mengumpulkan.  Salah satu upaya untuk menyalurkan naluri  seksual suami istri dalam rumah tangga  sekaligus sarana untuk menghasilkan  keturunan yang dapat menjamin kelangsungan  eksistensi  manusia di atas bumi.  Keberadaan nikah itu sejalan dengan  lahirnya manusia di atas bumi  dan merupakan fitrah manusia  yang diberikan Allah SWT terhadap hamba-Nya.

Oleh karena itu, dalam pembahasan singkat berikut akan dijelaskan secara global tentang (1) konsep pernikahan dalam Al-quran dan (2) bagaimana kaum muslimin mengembangkan konsep untuk menjaga dan melanggengkan pernikahan tersebut yang tertuang dalam perundang-undangan mereka dewasa ini.


2.Pengertian  

Dalam Al-Quran ada dua kata kunci yang menunjukkan konsep pernikahan, yaitu zawwaja dan kata derivasinya berjumlah lebih kurang dalam 20 ayat dan nakaha dan kata derivasinya sebanyak lebih kurang dalam 17 ayat (Al-Baqi 1987:  332-333 dan 718).Yang dimaksud dengan nikah dalam konteks pembicaraan ini adalah ikatan (aqad )perkawinan ( al – Asfihani, Tanpa Tahun : 220 dan 526).

Perlu pula dikemukakan bahwa Ibnu Jini pernah bertanya kepada Ali mengenai arti ucapan mereka nakaha al-mar ah,  Dia menjawab : “orang-orang Arab menggunakan kata nakaha dalam konteks yang berbeda, sehingga maknanya dapat dipisahkan secara halus, agar tidak menyebabkan kesimpangsiuran. Kalau mereka mengatakan nakaha fulan fulanah, yang dimaksud adalah ia menjalin ikatan perkawinan dengan seorang wanita. Akan tetapi apabila mereka mengatakan nakaha imraatahu, yang mereka maksudkan tidak lain adalah persetubuhan (Razi, Juz VI : 59). Lebih jauh lagi al – Karkhi berkata bahwa yang dimaksud dengan nikah adalah ikatan perkawinan, bukan persetubuhan. Dengan demikian bahwa sama sekali tidak pernah disebutkan dalam Al-Quran kata nikah dengan arti wati’, karena Al – Quran menggunakan kinayah. Penggunaan kinayah tersebut termasuk gaya bahasa yang halus ( al-Sabuni, Tanpa Tahun, I : 285).                     

            Ada beberapa definisi nikah  yang dikemukakan ulama fiqh,  tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama meskipun  redaksionalnya berbeda. Ulama Mazhab Syafi’i mendefinisikannya dengan “akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafal  nikah/kawin atau yang semakna dengan itu”. Sedangkan ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan  “akad  yang mempaedahkan halalnya  melakukan hubungan suami istri antara seorang lelaki  dan seorang wanita  selama tidak ada halangan syara’.
            Definisi jumhur ulama  menekankan pentingnya menyebutkan lafal yang dipergunakan dalam akad nikah  tersebut,  yaitu harus lafal nikah,  kawin atau yang semakna dengan itu. Dalam  definisi  ulama Mazhab Hanafi,  hal ini tidak diungkapkan secara jelas,  sehingga segala lafal yang mengandung  makna halalnya seorang laki-laki  dan seorang wanita  melakukan hubungan seksual boleh dipergunakan, seperti lafal hibah.  Yang dapat perhatian khusus  bagi  ulama Mazhab Hanafi, disamping  masalah kehalalan hubungan seksual,  adalah tidak adanya halangan syara’ untuk menikahi  wanita tersebut. Misalnya.  Wanita itu bukan mahram (mahram atau muhrim) dan bukan pula penyembah berhala. Menurut jumhur ulama,  hal-hal seperti itu tidak dikemukakan  dalam definisi mereka  karena hal tersebut cukup dibicarakan  dalam persyaratan nikah.
            Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M),  ahli hukum Islam dari Universitas al-Azhar,  berpendapat bahwa perbedaan  kedua definisi  di atas  tidaklah bersifat prinsip. Yang menjadi prinsip dalam definisi tersebut adalah nikah itu membuat seorang lelaki  dan seorang wanita  halal melakukan hubungan seksual. Untuk mengkompromikan kedua  definisi, Abu Zahrah mengemukakan definisi nikah, yaitu “akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara  seorang lelaki dan seorang wanita,  saling tolong menolong di antara keduanya  serta menimbulkan  hak dan kewajiban di antara keduanya”. Hak dan kewajiban yang dimaksudkan  Abu Zahrah adalah hak dan kewajiban yang datangnya  dari asy-Syar’I-Allah SWT dan Rasul-Nya ( Tim,1996, 4: 1329).

3.Tujuan Pernikahan

            Salah satu ayat yang biasanya dikutip dan dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan tujuan pernikahan dalam Al-Quran adalah (artinya ) “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya  ialah Dia menciptakan  untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,  supaya kamu cenderung dan merasa tenteram  kepadanya,  dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang …” (Q.S.30:21 ).

Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa Islam  menginginkan pasangan suami istri yang telah membina suatu rumah tangga  melalui akad nikah  tersebut bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan  di antara suami istri yang saling mengasihi  dan menyayangi itu sehingga  masing-masing pihak merasa damai  dalam rumah tangganya.
Rumah tangga seperti inilah yang diinginkan Islam, yakni rumah tangga sakinah, sebagaimana disyaratkan  Allah SWT dalam surat ar-Rum (30) ayat 21 di atas. Ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh Allah  dala  ayat tersebut, dikaitkan dengan  kehidupan rumah tangga yang ideal  menurut Islam , yaitu sakinah (as-sakinah), mawadah (al-mawaddah), dan rahmat (ar-rahmah). Ulama tafsir menyatakan  bahwa  as-sakinah adalah suasana damai  yang melingkupi rumah tangga  yang bersangkutan; masing-masing pihak  menjalankan perintah Allah  SWT dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi.
Dari suasana as-sakinah tersebut akan muncul rasa  saling mengasihi dan menyayangi (al-mawadah),  sehingga rasa tanggung jawab  kedua belah  pihak semakin tinggi. Selanjutnya, para  mufasir mengatakan bahwa  dari as-sakinah dan  al-mawadah inilah nanti muncul  ar-rahmah, yaitu keturunan yang sehat  dan penuh berkat  dari Allah SWT, sekaligus  sebagai pencurahan rasa cinta  dan kasih suami istri dan anak-anak mereka ( Al-Qurtubi,1387, XIV: 16-17 dan Al-Qasimi, Tanpa Tahun, XIII : 171-172).

4.Hikmah Nikah

            Ulama fiqh  mengemukakan beberapa  hikmah perkawinan,  yang terpenting di antaranya adalah  sebagai berikut.
1.    Menyalurkan naluri seksual secara sah dan benar.  Secara alami, naluri yang sulit dibendung oleh setiap manusia  dewasa adalah naluri seksual. Islam ingin menunjukkan bahwa  yang membedakan manusia dengan hewan  dalam menyalurkan naluri seksual  adalah melalui perkawinan, sehingga segala akibat negatif yang ditimbulkan  oleh penyaluran seksual secara tidak benar  dapat dihindari sedini mungkin. Oleh karena itu,  ulama fiqh  menyatakan bahwa  pernikahan merupakan satu-satunya cara  yang benar dan sah dalam menyalurkan naluri  seksual,  sehingga masing-masing pihak  tidak merasa khawatir akan akibatnya. Inilah yang dimaksudkan  Allah SWT dalam firman-Nya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya  ialah Dia menciftakan  untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,  supaya kamu cenderung dan merasa tenteram  kepadanya,  dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang …” (QS.30:21). Berkaitan dengan hal itu, Rasulullah SAW bersabda : “Wanita itu (dilihat) dari depan seperti setan (menggoda),  dari belakang juga demikian.  Apabila seorang lelaki tergoda  oleh seorang wanita,  maka datangilah (salurkanlah kepada) istrinya,  karena hal itu akan  dapat menentramkan jiwanya” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmizi).
2.    Cara paling baik untuk mendapatkan anak  dan mengembangkan keturunan secara sah. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW bersabda: “Nikahilah wanita yang bisa memberikan keturunan  yang banyak,  karena saya akan bangga sebagai nabi  yang memiliki umat yang banyak dibanding nabi-nabi lain  di akhirat kelak” (HR. Ahmad bin Hanbal).
3.    Menyalurkan naluri kebapakan atau keibuan . Naluri ini  berkembang secara bertahap,  sejak masa anak-anak  sampai masa dewasa.  Seorang manusia tidak akan merasa sempurna  bila tidak menyalurkan naluri tersebut.
4.    Memupuk rasa tanggung jawab dalam rangka memelihara dan mendidik anak, sehingga  memberikan motivasi yang kuat bagi seseorang  untuk membahagiakan  orang-orang yang  menjadi tanggung jawab.
5.    Membagi rasa tanggung jawab antara suami dan istri yang selama ini dipikul masing-masing pihak.
6.    Menyatukan keluarga masing-masing pihak, sehingga hubungan silaturrahmi  semakin kuat  dan terbentuk keluarga baru yang lebih banyak.
7.    Memperpanjang usia. Hasil penelitian masalah-masalah kependudukan  yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa  pada tahun 1958 menunjukkan bahwa pasangan suami istri mempunyai kemungkinan lebih panjang umurnya  dari pada orang-orang yang tidak menikah selama hidupnya.
Oleh karena itu,  ulama fiqh  sepakat menyatakan bahwa  untuk memulai suatu perkawinan ada beberapa langkah yang perlu dilalui dalam upaya  mencapai cita-cita rumah tangga  sakinah. Langkah-langkah  itu  dimulai dari peminangan  (khitbah) calon istri oleh pihak laki-laki dan melihat calon istri; sebaliknya,  pihak  wanita juga  berhak melihat dan menilai calon suaminya  itu dari segi keserasiannya (kafaah). Masih dalam  pendahuluan perkawinan ini, menurut ulama fiqh,  Islam juga mengingatkan agar wanita  yang dipilih bukan  orang  yang haram dinikahi (mahram). Dari berbagai rangkaian  pendahuluan perkawinan ini,  menurut Muhammad Zaid al-Ibyani (tokoh fiqh dari Bagdad), Islam mengharapkan dalam perkawinan nanti tidak muncul kendala yang akan menggoyahkan suasana as-sakinah, al-mawadah, dan ar-rahmah.

6.Hukum Perkawinan Negara Muslim

            Jika undang-undang hukum keluarga di dunia muslim yang diberlakukan pada abad ke-20 dicermati, ternyata masalah pokok yang mendapat perhatian dalam rangka mendukung kelanggengan kehidupan perkawinan dengan suasana sakinah, mawaddah, dan rahmah tersebut di atas,  yaitu masalah batas umur untuk kawin, masalah peranan wali dalam nikah, masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan, masalah maskawin dan biaya perkawinan, masalah poligami dan hak-hak isteri dalam poligami, masalah nafkah isteri dan keluarga serta rumah tempat tinggal, masalah talak dan cerai di muka pengadilan,  masalah hak-hak wanita yang dicerai suaminya,  masalah masa hamil dan akibat hukumnya, masalah hak dan tanggung jawab pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian (Mahmood,1987:12).   

1.Masalah Batas Umur Untuk Kawin.
            Pasal 7 ayat (1) Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Sedangkan  Hukum Keluarga di Mesir menjelaskan bahwa perkawinan hanya dapat diizinkan jika laki-laki berumur 18 tahun dan wanita berumur 16 tahun, demikian juga dalam Hukum Keluarga di Pakistan dinyatakan bahwa  perkawinan dapat dilakukan jika laki-laki sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 16 tahun (Mahmood, 1987 :270).     Batas umur kawin untuk Indonesia di atas, jika dibandingkan dengan batas umur kawin  baik di Mesir maupun Pakistan sebenarnya sama, kecuali untuk laki-laki  relatif tinggi.
Dalam tingkat pelaksanaan, batas umur kawin bagi wanita yang sudah rendah itu masih belum tentu dipatuhi sepenuhnya. Untuk mendorong agar orang kawin di atas batas umur terendahnya, sebenarnya pasal 6 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 telah melakukannya dengan memberikan ketentuan bahwa untuk melaksanakan perkawinan bagi seorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua. Akan tetapi dalam kenyataan justru sering pihak orang tua sendiri yang cenderung menggunakan batas umur terendah itu atau bahwa lebih rendah lagi. Di Mesir, meskipun perkawinan yang dilakukan oleh orang yang belum mencapai batas umur terendah  itu sah juga, tetapi tidak boleh didaftarkan(Mudzhar,1998: 179).
            Di anak benua India, pada tahun 1929 diterbitkan suatu undang-undang untuk mencegah perkawinan anak di bawah umur (Child Marriage Restraint Act, 1929). Undang-undang ini menetapkan larangan mengawinkan anak perempuan sebelum menmcapai usia 14 tahun dan anak lelaki sebelum mencapai usia 16 tahun. Undang-undang ini juga menetapkan sanksi hukuman atas pelanggaran ketentuan-ketentuannya. Pencegahan perkawinan anak di bawah umur yang belum mencapai usia tersebut di anak benua India dipertegas dengan memberikan khiyar fasakh setelah dewasa kepada anak di bawah umur itu baik yang  lelaki maupun perempuan apabila mereka dikawinkan oleh wali mereka sebelum mencapai usia tersebut di atas (Siraj,1993:107).
            Tidak diragukan bahwa pemerataan pendidikan, kondisi sosial ekonomi dan bentuk-bentuk pengarahan masyarakat memberi andil dalam mengurangi keinginan untuk melakukan perkawinan di bawah umur di Mesir dan Pakistan. Akan tetapi beberapa lingkungan sosial tertentu masih melakukan perkawinan seperti itu karena pertimbangan-pertimbangan dan kepentingan-kepentingan yang mereka asumsikan. Untuk memenuhi ketentuan-ketentuan guna mendapatkan perlindungan hukum mereka cukup pergi ke dokter untuk memperoleh surat keterangan bahwa anak-anak tersebut telah mencapai usia yang dikehendaki oleh hukum (Siraj,1993:107).

2.Masalah Pencatatan Perkawinan.
            Masalah pencatatan nikah ini menempati terdepan dalam pemikiran fiqh modern, mengingat banyaknya masalah praktis yang timbul dari tidak dicatatnya perkawinan yang berhubungan dengan soal-soal penting deperti asal-usul anak, kewarisan dan nafkah. Timbulnya penertiban administrasi modern dalam kaitan ini telah membawa kemudahan pencatatan akad dan transaksi –tarnsaksi yang berkaitan dengan barang-barang tak bergerak dan perusahaan. Tidak ada kemuskilan bagi seseorang untuk memahami  sisi kemaslahatan dalam pencatatan nikah, akad dan transaksi-transaksi ini ( Siraj,1993:105).   
Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun Ulama Indonesia  umumnya setuju atas ayat tersebut dan tidak ada reaksi terbuka tasanya, tetapi karena persyaratan pencatatan di atas tidak disebut dalam kitab-kitab fiqh, dalam pelaksanaannya masyarakat muslim Indonesia masih mendua. Misalnya, masih ada orang yang mempertanyakan apakah perkawinan yang tidak dicatatkan itu dari segi agama lalu tidak menjadi tidak sah. Kecenderungan jawabannya ialah bahwa kalau semua rukun dan syarat perkawinan sebagaimana dikehendaki dalam kitab fiqh sudah terpenuhi, suatu perkawinan itu tetap sah. Sebagai akibatnya ialah banyak orang yang melakukan kawin di bawah tangan di Indonesia. Apalagi jika perkawinan itu merupakan perkawinan kedua dan ketiga, kecenderungan untuk kawin di bawah tangan semakin kuat lagi. Pada waktunya keadaan ini dapat mengacaukan proses-proses hukum yang akan terjadi berikutnya atau mengacaukan hak-hak hukum anak yang dihasilkannya. Seharunsnya dipahami bahwa keharusan pencatatan perkawinan adalah benmtuk baru dan resmi dari perintah Nabi Muhammad SAW agar mengumumkan atau mengiklankan nikah meskipun dengan memotong seekor kambing (Mudzhar,1998 : 180-181).   
            Usaha untuk menetapkan pencatatan perkawinan di Mesir dimulai dengan terbitnya Ordonansi Tahun 1880 yang berisi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pegawai-pegawai pencatat nikah dan dasar-dasar pemilihan dan pengangkatan mereka serta menyerahkan pelaksanaan pencatatan nikah itu kepada kemauan para pihak yang berakad dan pertimbangan kepentingan mereka. Ordonansi Tahun 1880 itu didikuti dengan lahirnya Ordonansi Tahun 1897 yang pasal 31-nya menyatakan bahwa gugatan perkara nikah atau pengakuan adanya hubungan perkawinan tidak akan didengar oleh pengadilan setelah meninggalnya salah satu pihak apabila tidak dibuktikan dengan suatu dokumen yang bebas dari dugaan pemalsuan. Sedangkan di Pakistan telah timbul pemikiran tentang kewajiban mencatatkan perkawinan dengan ditetapkannya suatu ketentuan yang termuat dalam pasal 5 Ordonansi Hukum Keluarga Islam Tahun 1961 (Muslim Family Laws Ordinance,1961). Dalam pasal ini ditegaskan bahwa yang berwenang mengangkat pejabat-pejabat pencatat nikah dan mengizinkan mereka untuk melakukan pencatatan akad nikah adalah Majelis Keluarga(Union Council) dan bahwa majelis ini memberi izin untuk melakukan pekerjaan tersebut hanya kepada satu orang pada setiap daerah tertentu. Sesuai dengan pasal tersebut, perkawinan yang tidak dicatat tidaklah dianggap batal. Hanya saja para pihak berakad dan saksi yang melanggar ketentuan ordonansi itu dapat dihukum karena tidak mencatatkan nikah itu, dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan dan hukuman denda setinggi-tingginya seribu rupiah. Ketentuan hukuman ini sama sekali tidaklah bertentangan dengan dengan asas-asas pemikiran hukum pidana Islam, yang justru memberi hak kepada penguasa untuk memberikan hukuman ta’zir bila diperlukan guna mempertahankan kepentingan-kepentingan yang dikehendaki oleh syara’ (Siraj,1993:106).
Dari tiga negara tersebut terdapat kesamaan pandangan tentang perlunya akad nikah diaktakan. Pentingnya diaktakan akad perkawinan di atas karena menyangkut persoalan asal-usul anak, kewarisan dan nafkah. Akan tetapi tiga negara di atas belum sampai kepada sikap dan pandangan bahwa pencatatan nikah termasuk rukun baru dari akad nikah. Hal ini dapat dilihat dari masih dianggap sah suatu pernikahan yang tidak dicatat.         
Keharusan pencatatan perkawinan di atas seharusnya dipahami sebagai bentuk baru dan resmi dari perintah Nabi Muhammad SAW agar mengumumkan atau menmgiklankan nikah meskipun dengan memotong seekor kambing. Dalam masyarakat kesukuan yang kecil dan tertutup seperti di Hijaz dahulu, dengan pesta memotong hewan memang sudah cukup sebagai pengumuan resmi. Akan tetapi dalam masyarakat yang kompleks dan penuh dengan formalitas seperti zaman sekarang ini, pesta dengan memotong seekor kambing saja tidak cukup melainkan harus didokumentasikan secara resmi pada kantor yang bertugas mengurusi hal itu. Karena itu mungkin kewajiban pencatatan ini dapat dipikirkan untuk menjadi tambahan rukun nikah dalam kitab fiqh baru nanti (Mudzhar,1998 :180-181).
            Di samping itu, ada pula argumen lain yang mendukung pentingnya pencatatan perkawinan itu dilakukan dengan berpedoman pada ayat Alquran yang menyatakan bahwa dalam melakukan transaksi penting seperti hutang-piutang hendaknya selalu dicatatkan (Q.S. 2 : 282). Tidak syak lagi bahwa perkawinan adalah suatu transaksi penting (Mudzhar,1999 : 112). 

3. Masalah Cerai Didepan Pengadilan
            Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Aturan ini berbeda dengan kitab-kitab fiqh klasik yang menyatakan bahwa talak dapat terjadi dengan pernyataan sepihak  dari suami, baik secara lisan maupun  tertulis, secara bersungguh-sungguh atau bersenda gurau (Mudzhar,1999:116).
Di Pakistan, menurut UU tahun 1961 dinyatakan bahwa seorang suami masih dapat menjatuhkan talak secara sepihak di luar pengadilan, tetapi segera setelah itu ia diwajibkan melaporkannya kepada pejabat pencatat perceraian yang kemudian akan membentuk Dewan Hakam (Arbitrasi) untuk menengahi dan mendamaikan kembali pasangan suami isteri itu. Jika setelah 90 hari usaha perdamaian itu gagal, talak itu berlaku. 
Di Mesir sampai terbitnya Undang-Undang Tahun 1979 tentang beberapa ketentuan hukum keluarga  menghendaki dibatasinya hak talak suami dengan cara mewajibkannya mencatatkan talak pada waktu dijatuhkan dan memberitahukan kepada isterinya. Jika tidak, ia dapat dikenai hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan dan denda sebanyak-banyaknya dua ratus pound, dan talak hanya menimbulkan akibat hukum sejak dari tanggal diketahuinya oleh isteri. Undang-undang itu juga menetapkan untuk janda yang ditalak setelah dicampuri suatu pemberianmutah yang besarnya sama dengan nafkah selama dua tahun (Mahmood,1987: 31-32).      
            Di Indonesia dengan keharusan mengucapkan talak di depan sidang pengadilan, praktis konsep talak tiga yang diajtuhkan sekaligus juga tidak berlaku lagi. Demikian juga di Mesir. Semua pengaturan ini dilakukan untuk melindungi hak-hak wanita (Mudzhar,1999:116).

4. Poligami
            Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Juga seorang wanita hanya bolaeh mempunyai seorang suami. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Kemudian dalam PP No.9 tahun 1975 pasal 40 dinyatakan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari satu, ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Ketentuan-ketentuan tersebut pada dasarnya mempersulit terjadinya poligami, bahkan bagi pegawai negeri berdasarkan PP No. 10 tahun 1983 poligami praktis dilarang.   
            Ketentuan-ketentuan Ordonansi Mesir tahun 1929 yang memberi wanita hak minta pemutusan hubungan perkawinan karena adanya kesakitan secara umum. Orientasi ini ternyata diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa mengenai poligami. Akan tetapi kemudian terbit Undang-Undang Tahun 1979 yang membawa ketentuan-ketentuan baru mengenai poligami. Dalam pasal 6 undang-undang tersebut ditegaskan dua hal, yaitu pencatat nikah wajib memberi tahu isteri terdahulu tentang perkawinan kedua suaminya apabila perkawinan tersebut dilakukan oleh suaminya itu, dan dianggap menyakiti isteri adanya wanita lain yang mendampingi suaminya tanpa persetujuannya, meskipun pada waktu dilakukan akad nikahnya dahulu ia tidak mensyaratkan kepada suaminya agar tidak memadunya. Demikian pula suami merahasiakan terhadap isterinya yang baru bahwa ia berada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, dan hak isteri untuk minta pemutusan perkawinan gugur dengan lewatnya waktu satu tahun sejak ia mengetahui adanya sebab yang menimbulkan kesakitan itu yaitu poligami) selama ia tidak setuju terhadap hal itu yang dinyatakan secara tegas atau diam-diam ( Mahmood,1987: 273-274).
            Di Mesir poligami itu sendiri dianggap sebagai menyakiti isteri sehingga memberinya hak untuk meminta pemutusan perkawinan selama ia tidak setuju atau belum lewat waktu satuy tahjun sejak ia mengetahui kejadian pernikahan suaminya dengan wanita lain. Hal ini berbeda dengan keadaan sebelumnya hak minta pemutusan perkawinan itu diberikan kepada isteri apabila dengan [poligami itu terbukti adanya kesakitan yang dialami isteri (Siraj,1993 : 108-109).     
            Hukum Pakistan mengikuti garis perkembangan yang sama dalam masalah poligami. Dalam Undang-Undang Pemutusan Perkawinan Islam Tahun 1939 dinyatakan bahwa wanita berhak minta pemutusan perkawinan apabila terbukti ia mendapat kesakitan karena poligami. Kemudian diterima pandangan yang membatasi poligami, akan tetapi dilakukan dengan cara yang berbeda dengan cara yang diambil oleh hukum Mesir. Ordonansi Pakistan Tahun 1961 menyatakan wajibnya seorang yang ingin melakukan poligami memperoleh persetujuan majelis keluarga yang akan mengangkat suatu badan arbitrasi yang mencakup wakil isteri , dan badan arbitrasi ini tidak akan mengeluarkan persetujuan sang suami mengambil satu isteri lagi sebelum ia yakin betul terhadap keadilan dan perlunya suami kawin lagi. Pasal 6 Ordonansi Pakistan Tahun 1961 itu menetapkan bahwa suami yang melakukan perkawinan kedua dengan wanita lain tanpa memperoleh persetujuan tersebut, dapat dikenakan hukuman penjara selam-lamanya satu tahun dan denda sebanyak-banyaknya lima ribu rupiah, dan isteri terdahulu memperoleh hak atas talak (Mahmood,1987:245-246).  
            Dari sudut pandangan fuqaha modern, dengan menetapkan hukuman seperti itu atas semata-mata poligami, ordonansi tersebut telah sampai pada batas pelanggaran terhadap filsafat fiqh yang menegaskan bahwa tidak ada hukuman dalam melakukan perbuatan yang dibenarkan syara’(Siraj,1993:109).
            Di dunia muslim pada umumnya kecenderungannya adalah sama yaitu membatasi terjadinya poligami dan pembatasan itu bervariasi bentuknya dari cara yang paling lunak sampai paling tegas. Cara lain bagi pembatasan polgami adalah dengan pembuatan perjanjian. Isteri diberi hak untuk meminta suami ketika melangsungkan perkawinan agar membuat perjanjian bahwa jika ia ternyata nanti nikah lagi dengan wanita lain, si isteri dapat langsung meminta cerai kepada pengadilan atau dengan sendirinya jatuh talak satu apabila yang melanggar itu pihak isteri (Mudzhar,1999:117). Munculnya berbagai peraturan perundang-undangan di negara-negara muslim tersebut, terutama dalam bidang pernikahan, hendaklah dipahami sebagai langkah dan cara untuk mempertahankan kelanggengan kehidupan keluarga yang dicita-citakan Islam.
  

7.Penutup

Sebagai penutup dari makalah sederhana ini perlu dikemukakan kesimpulan sebagai berikut :
1.Dalam pandangan Al-Quran disyari’atkan pernikahan adalah bertujuan untuk membangun keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah yang bersifat langgeng.
 2.Untuk mempertahankan kelanggengan kehidupan rumah seperti tersebut di  atas juga tercermin baik dalam kitab fiqh maupun dalam perundang-undangan negara-negara muslim dewasa ini. 

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Sulaeman.1996. Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’i. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya.
Abdurrahman.1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Akademika Pressindo.
Anderson, J.N.D 1975. Islamic Law in the Modern World. New York :New York University Press.
Anderson, J.N.D. . 1976. Law Reform in the Muslim World. London : University of London Press.
Asfihani, al Garib al-.Tanpa Tahun. Mufradat al Faz al-Quran. TTP : Dar al Katib al-Arabi
Baqi, Muhammad Fuad Abd al-.1987. al- Mu’jam al- Mufahras li al-Faz al-Quran al- Karim. Beirut : Dar al-Fikr. 
 Cammack,Mark.1993. “Hukum Islam dalam politik Hukum Orde Baru “ dalam Sudirman Tebba (editor ) Perkembangan Hukum Islam di Asia Tenggara Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya. Bandung : Mizan. Hlm. 27-54.
Coulson, N.J. 1969.  Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence. Chicago dan London: the University of Chicago Press.
Coulson, N.J.1994. A History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Donohue, John J.. dan John L. Esposito.1995. Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-Masalah. Kata Pengantar M. Amin Rais.Terj.Machnun Husein dari judul asli Islam in Transition : Muslim Perspective. Jakarta : Radjawali Press.
Esposito, John L..1982. Women in Muslim Family Law. Syracus: Syracus University Press.
Islam, Negara dan Hukum.1993. – Kumpulan karangan  di bawah redaksi Johannes den Heijer dan Syamsul Anwar. Jakarta : INIS.
Jauziyah, Ibn al-Qayyim al. 1955. A’lam al-Muwaqi’in. Mesir: Maktabah at-Tijariyah.
Jaziri, Abd al- Rahman al-. Tanpa Tahun. al-Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah. Mesir : Maktabah al-Tijariyah al-Kubra.
Mahmood,       Tahir.   1972. Family Law Reform in the Muslim World. Bombay:Tripathi.
Mahmood, Tahir.1987. Personal Law in Islamic Countries : History, Text and Comparative Analysis. New Delhi : Academy of Law and Religion.
MD. Moh. Mahfud, Sidik Tono dan Dadan Muttaqien (Editor).1993. Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta : UII-Press.
Mu’allim, Amir  dan  Yusdani. 1999. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta : UII-Press.
Mudzhar, M. Atho. 1998a. Pendekatan Studi Islam  dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mudzhar, M. Atho.1993. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia : Sebuah Studi Hukum Islam di Indonesia 1975-1988. Disertasi pada UCLA Terj.Soedarso Soekarno dari judul Bahasa Inggris Fatwas of The Council of Indonesian Ulama : A Study of Islamic Legal Thought  in Indonesia 1975-1988. Edisi Dwibahasa (Indonesia dan Inggris ). Jakarta :INIS. 
Mudzhar, M. Atho.1999. Studi Hukum Islam dengan  Pendekatan Sosiologi, Pidato Pengukuhan  Guru Besar Guru Besar Madya Ilmu Sosiologi Hukum Islam,  15 September 1999. Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga.
Mudzhar, M. Atho’.1998. Membaca Gelombang Ijtihad : Antara Tradisi dan Liberasi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Mudzhar, M. Atho’.1999. “ Dampak Gender Terhadap Perkembangan Hukum Islam” dalam Profetika Jurnal Studi Islam, Vol.1 No.1  1999. Hlm.110-123.
Na’im, Abdullahi Ahmed. 1990. Toward an Islamic Reformation : Civil Liberties, Human Rights and International Law. New York :Syracus University Press.
Powers, David S. 1986. Studies in Quran and Hadith : The formation of Islamic of Inheritance, Berkley: University of California Press.
Qasimi, Muhammad Jamaluddin al-. Tanpa Tahun. Mahasin al- Ta’wil Juz XIII. Beirut : Dar al Fikr.
Qurtubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Ansari al-.1967. al – Jami’u li Ahkam al- Quran Juz XIV. Kairo : Dar al Katib al-Arabi.
Rahman, Fazlur.1970. Toward Reformulating the Methodology of Islamic Law : Shaikh Yamani on Public Interest in Islamic Law. International Law and Politic.
Rahman, Fazlur.1980. Major Themes of the Quran. Chicago : Bibliotheca Islamic.
Sabuni, Muhammad Ali as-. 1972. Rawai’ al Bayan :Tafsir Ayat al-Ahkam min Alquran. Kuwait : Dar Alquran al-Karim.
Schacht, Joseph.1960. “Problems of Modern Islamic Legislation”. Dalam Studica Islamica, vol. 12, hlm. 120.
Schacht, Joseph.1971. An Introduction to Islamic Law. London :Oxford at the Clarendon Press.
Siraj, Muhammad. 1993. “ Hukum Keluarga di Mesir dan Pakistan “ dalam Islam, Negara dan Hukum.  Seri INIS XVI Kumpulan Karangan di Bawah Redaksi Johannnes den Heijer, Syamsul Anwar. Jakarta : INIS. Hlm. 99-115.
Syahrur, Muhammad. 1990.al-Kitab wa Alquran Qiraah Mu’asirah. Qahirah : Sina li al- Nasyr wa al-Ahali.
Syatibi, Asy.Tanpa Tahun. Al-Muwafaqat fi Usul asy- Syari’ah. Kairo : Mustafa Muhammad.
Syawaf, Munir Muhammad Tahir.1993. Tahafut al-Qira’ah al-Mu’asirah. Limassol – Cyprus.
Tim Redaksi. 1996.Insklopedi Hukum Islam. Jakarta: P.T. Ichtiar Baru van Hoeve
Yusdani. 2000. Peranan Kepentingan Umum Dalam Reaktualisasi Hukum : Kajian Hukum Islam Najamuddin At-Tufi. Yogyakarta : UII-Press.
Razi, al-Fakhr al-.Tanpa Tahun. Al-Tafsir al-Kabir. Teheran :Dar al-Kutub al-Ilmiyat.
                                                -------------------













Tidak ada komentar:

Posting Komentar