PENDAHULUAN
Diskusi mengenai masalagh riba sudah sangat tua dalam peradaban islam bahkan ketika islam lahair.riba telah ada dan telah dilontarkan nabi pada masa priode mekkah pada akhir dakwahnya. Dizaman moderan ini, setelah penetrasi keuangan barat ke dalam kehidupan masyrakat muslim, banyak para ahli ulama, lemaga, badan intutitusi bahkan perorangan mengkaji dan mengangkat mengenai masalah riba (interst) namun sebagian kecil saja yang membolehkan dengan berbagai alasan yang dikemukakan.
Praktek riba selama ini tidak lepas dari propaganda musuh-musuh Islam yang menjadikan umat Islam lebih senang untuk menyimpan uangnya di bank-bank, lebih-lebih dengan semaraknya kasus-kasus pencurian dan perampokan serta berbagai adegan kekerasan yang semakin merajalela. Bahkan sistem simpan pinjam dengan bunga pun sudah dianggap biasa dan menjadi satu hal yang mustahil bila harus dilepaskan dari perbankan. Umat tidak lagi memperhatikan mana yang halal dan mana yang haram. Riba dianggap sama dengan jual beli yang diperbolehkan menurut syari’at Islam. Kini kita saksikan, gara-gara bunga berapa banyak orang yang semula hidup bahagia pada akhirnya menderita tercekik dengan bunga yang ada. Musibah dan bencana telah meresahkan masyarakat, karena Allah yang menurunkan hukumNya atas manusia telah mengizinkan malapetaka atas suatu kaum jika kemaksiatan dan kedurhakaan telah merejalela di dalamnya. Berangkat dari ini pemakalah mencoba mengangkat tema ianstitusi bunga dalam masalah riba.
PEMBAHASAN
1. Definisi Riba
Asal makna riba menurut bahasa arab ialah lebih (bertambah). Adapun menurut istilah adalah akad yang terjadi dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’, atau lambat menerimanya.[1]
Dalam syariat Islam, riba diartikan dengan bertambahnya harta pokok tanpa adanya transaksi jual beli sehingga menjadikan hartanya itu bertambah dan berkembang dengan sistem riba. Maka setiap pinjaman yang diganti atau dibayar dengan nilai yang harganya lebih besar, atau dengan barang yang dipinjamkannya itu menjadikan keuntungan seseorang bertambah dan terus mengalir, maka perbuatan ini adalah riba yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah dan RasulNya, dan telah menjadi ijma’ kaum muslimin atas keharamannya.
Sebenarnya praktek riba pada awal mulanya adalah perilaku dan tabi’at orang-orang Yahudi dalam mencari nafkah dan mata pencaharian hidup mereka. Dengan sekuat tenaga mereka berusaha untuk menularkan penyakit ini ke dalam tubuh umat Islam melalui bank-bank yang telah banyak tersebar. Mereka jadikan umat ini khawatir untuk menyimpan uang di rumahnya sendiri seiring disajikannya adegan-adegan kekerasan yang menakutkan masyarakat lewat jalur televisi dan media-media massa lainnya, sehingga umat pun bergegas mendepositokan uangnya di bank-bank milik mereka yang mengakibatkan keuntungan yang besar lagi berlipat ganda bagi mereka, menghimpun dana demi melancarkan rencana-rencana jahat zionis dan acara-acara kristiani lainnya. Mereka banyak membantai umat Islam, namun diam-diam tanpa disadari di antara kita telah ada yang membantu mereka membantai saudara-saudara kita semuslim dengan mendepositokan uang kita di bank-bank mereka.
2. Sumber Hukum Riba
Al-Qur’an Suroh Albaqoroh ayat :275
Artinya; Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Dalam firmanNya (QS. An-Nisa’: 161) Allah menegaskan: “Dan disebabkan mereka (orang-orang Yahudi) memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang lain dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka siksa yang pedih”.
Lalu pantaskah bila umat Islam mengikuti pola hidup suatu kaum yang Allah pernah mengutuknya menjadi kera dan babi, sedangkan Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab (Yahudi dan Nashrani), niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi kafir sesudah kamu beriman.” (QS. Ali Imran: 100).
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Abu Ya’la dan isnadnya jayyid, bahwasannya Rasulullah SAW. bersabda:
مَا ظَهَرَ فِيْ قَوْمٍ الزِّنَى وَالرِّبَا إِلاَّ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عِقَابَ اللهِ.
“Tidaklah perbuatan zina dan riba itu nampak pada suatu kaum, kecuali telah mereka halalkan sendiri siksa Allah atas diri mereka.”
bahkan dalam riwayat yang shahih, sahabat Jabir Ra.mengatakan:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ.
Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya dan kedua orang yang memberikan persaksian, dan beliau bersabda: “Mereka itu sama”. (HR. Muslim, no. 1598).
a. Macam-Macam Riba
Menurut ahli-ahli hukum islam pada dasarnya riba dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu:
1. Riba Hutang Piutang
Yang di maksud hutang piutang adalah tambahan tanpa imbalan atas hutang, yang disyaratkan oleh pemberi pinjaman kepada peminjam pada saat penutupan akad atau saat penundaan pembayaran hutang.
Unsur-unsur riba ini adalah (1) adanya tambahan sebagai imbalan tenggang waktu, baik tenggang waktu peminjaman maupun tenggang waktu keterlambatan. (2) adalah bahwa tambahan tersebut mengikat atau dapat dituntut (bukan suka rela) karena disyaratkan dalam perjanjian (akad).
2. Riba Jual Beli
Macam kedua dari riba adalah riba yang bersumber pada akad jual beli (bukan bersumber pada hutang jual beli). Riba jual beli ini ada dua macam: (1) riba fadal (riba kelebihan) dan (2) riba penangguhan (riba nasa’i).[2]
3. Bunga Uang
Bunga dalm kamus-kamus didefinisikan sebagai “imbalan jasa untuk penggunaan uang atau modal yang dibayar pada waktu yang disetujui, umumnya dinyatakan sebagai presentase dari modal pokok,” atau “suatu biaya (berupa presentase) atas uang pinjaman, atau juga “money cahrged for borrowing money or paid to somebody who invests money.”
Berbagai teori dikemukakan oleh pendukung bunga guna melegitimasi institusi ini. Ada teori abstinence (bunga adalah penghargaan atas penundaan konsumsi sehingga uang bisa dipinjamkan pada orang lain), ada teori persewaan (uang adalah harga sewa atas modal yang digunakan), ada teori opportunity cost (bunga adalah biaya dari tenggang waktu yang diberikan kreditur pada peminjam sehingga ia dapat menggunakan uang untuk memenuhi kepentinganya), ada teori nilai waktu dari uang (uang hari ini lebih berharga dan lebihb tinggi nilainya dari kemudian hari), adapula teori inflasi (bunga adalah penutupan biaya inflasi), dan berbagai teopri lain. Mereka yang tidak menyetujui teori-teori ini mengajukan argumen-argumen yang membantah teori-teori tersebut.[3]
4. Riba dalam Lembaga Keungan Modern
Dalam lembaga keuangan modern ada yang disebut bank non islam dan bank islam. Bank non islam atau conventional bank, ialah sebuah lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan pada yang memerlukan dana, baik perorangan atau badan guna investasi dalam usaha-usaha yang produktif dan lain-lain dengan sistim bunga; sedangkan bank islam ialah sebuah lembaga keuangan yang menjalankan operasinya menurut syariat islam. Sudah tentu bank islam tidak memakai sistem bunga, sebab bunga dilarang islam.
Sebagai pengganti sistem bunga, bank islam menggunakan berbagai cara yang bersih dari unsur riba, antara lain ialah sebagai berikut.
1. Wadiah (titipan uang, barang, dan surat berharga atau deposito). Lembaga fiqh islam “wadiah” ini, bisa diterapkan oleh bank islam dalam operasinya menghimpun dana dari masyarakat, dengan cara menerima deposito berupa uang, barang dan surat-surat berharga sebagai amanat yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank islam. Bank berhak menggunakan dana yang didepositokan itu tanpa harus membayar imbalannya, tetapi bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu pada waktu pemiliknya memerlukannya.
2. Mudharabah (kerja sama antara pemilik modal dengan pelaksanaan atas dasar perjanjian profit and loss sharing) . dengan sistem ini bank dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya dengan perjanjian bagi hasil dan rugi yang perbandingannya sesuai dengan perjanjian, misalnya fifty-fifty. Dalam sistem ini bank tidak ikut mencampuri manajemen perusahaan.
3. musyaroka/syirkah, (persekutuan). Dibawah ini kerja sama musyarokah/syirkah ini, pihak bank dan pihak pengusaha sama-sama mempunyai andil (saham) pada usaha patungan (joint venture). Karena itu, kedua belah pihak berpartisipasi mengelola usaha patungan ini dan menanggung untung ruginya bersama atas dasar perjanjian provit and loss sharing (PLS agreement).
4. muraabahah (jual beli barang dengan tambahan harga atau cost plus atas dasaar harga pembelian yang pertama secara jujur)
5. qardh hasan (pinjaman yang baik atau atau benevolent loan).bank islam dapat memberikan pinjaman tanpa bunga (benevolent loan) kepada para nasabah yang baik terutama nasabah yang punya deposito di bank islam itu sebagai salah satu service dan penghargaan bank kepada para depositonya dari bank islam.
6. bank islam juga dapat menggunakan modalnya dan dana yang terkumpul untuk investasi langsung dalam berbagai bidang usaha yang profitable.
7. bank islam juga boleh mengelola zakat di negara yang pemerintahanya tidak mengelola zakat secara langsung.
8. bank islam juga bolah memungaut dan menerima pembayaran untuk:
a. mengganti biaya –biaya yang langsung dikeluarkan oleh bank dalam melaksanakan pekerjaan untuk kepentingan nasabah.
b. Membayar gaji para karyawan bank yang melakukan pekerjaan untuk sarana dan prasarana yang disediakan oleh bank,dan biaya administrasi pada umumnya.
Demikianlah sebagian kegiatan operasional bank islam, yang jelas berbeda dengan bank konversional yang memakai sistem bunga untuk sebagian besar kegiatanya.[4]
5. Riba Pada Zaman Jahiliah
Sejak dahulu, Allah SWT telah mengharamkan riba. Keharamannya adalah abadi dan tidak boleh diubah sampai Hari Kiamat. Bahkan hukum ini telah ditegaskan dalam syariat Nabi Musa as, Isa as, sampai pada masa Nabi Muhammad saw. Tentang hal tersebut, Al Qur-aan telah mengabarkan tentang tingkah laku kaum Yahudi yang dihukum Allah SWT akibat tindakan kejam dan amoral mereka, termasuk di dalamnya perbuatan memakan harta riba. Firman Allah SWT:
“….disebabkan oleh kezhaliman orang-orang Yahudi, maka Kami telah haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) telah dihalalkan bagi mereka; dan (juga) karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah; serta disebabkan mereka memakan riba. Padahal sesungguhnya mereka telah dilarang memakannya, dan mereka memakan harta dengan jalan yang bathil (seperti memakan uang sogok, merampas harta orang yang lemah. Kemudian) Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih” (QS An Nisaa’ : 160-161).
Dalam sejarahnya, orang Yahudi adalah kaum yang sejak dahulu berusaha dengan segala cara menghalangi manusia untuk tidak melaksanakan syariat Allah SWT. Mereka membunuh para nabi, berusaha mengubah bentuk dan isi Taurat dan Injil, serta menghalalkan apa saja yang telah diharamkan Allah SWT, misalnya menghalalkan hubungan seksual antara anak dengan ayah, membolehkan adanya praktek sihir, menghalalkan riba sehingga terkenallah dari dahulu sampai sekarang bahwa antara Yahudi dengan perbuatan riba adalah susah dipisahkan. Tentang eratnya antara riba dengan gerak kehidupan kaum Yahudi, kita dapat mengetahuinya di dalam kitab suci mereka:
“Jikalau kamu memberikan pinjaman uang kepada umatku, yaitu kepada orang-orang miskin yang ada di antara kamu, maka janganlah kamu menjadikan baginya sebagai orang penagih hutang yang keras, dan janganlah mengambil bunga daripadanya” (Keluaran, 22:25). Dalam kitab Imamat (orang Lewi), tersebut pula larangan yang senada. Pada kitab tersebut disebutkan agar orang-orang Yahudi tidak mengambil riba dari kalangan kaumnya sendiri:
6. Riba Menurut Fiqh Kontemporer
Istilah riba “kontemporer” di sini digunakan untuk merujuk kepada konsep riba yang ditawarkan oleh Muhammad Syahrur (lahir 1938), seorang insinyur berkebangsaan Syria, di dalam bukunya al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah (1990). Judul ini secara bebas dapat dialihbahasakan menjadi al-Kitab dan al-Qur’an: Sebuah Pemahaman Kontemporer.[5]
Untuk membedakan dengan konsep lain mengenai riba, maka penulis menamakan konsep tentang riba yang ditawarkannya tersebut dengan riba ‘kontemporer’, sesuai dengan ‘maskot’ bukunya.
Pandangan Syahrur tentang riba tidak dapat dilepaskan dari teori batas (nazhariyyah al-hudud) yang diajukannya berkenaan dengan hukum Islam secara umum. Berdasarkan kajiannya terhadap al-Qur’an, ia menyimpulkan bahwa aturan hukum Islam sesungguhnya bersifat dinamis dan elastis yang dapat menampung berbagai kecenderungan perubahan kehidupan umat manusia dari masa ke masa dan dari satu tempat ke tempat lain sepanjang dalam batas-batas yang Ibda` oleh Allah. Batas-batas yang dimaksud yaitu batas bawah (al-hadd al-adna), dan batas atas (al-hadd al-a’la). Batas bawah merupakan batas minimum dari tuntutan hukum, sementara batas atas adalah batas maksimum. Perilaku hidup yang melampaui batas bawah dan atau melampaui batas atas yang telah ditentukan dipandang telah melanggar hukum dan wajib dijatuhi hukuman secara proporsional menurut pelanggarannya. [6]
Atas dasar pandangannya tentang riba dengan berbagai kondisi objektif yang melingkupinya sebagaimana disebutkan di atas, Syahrur mengajukan tiga prinsip dasar sistem bank Islam, yaitu: 1) Mereka yang berhak menerima zakat tidak diberikan kredit, melainkah diberi hibah (sedekah); 2) Dalam kondisi tertentu dibuka kemungkinan untuk memberikan kredit yang bebas bunga, yakni bagi mereka yang pantas diberi sedekah; 3) Dalam bank Islam tidak boleh ada kredit yang tempo pembayarannya tidak dibatasi hingga beban bunga yang harus dibayar lebih besar daripada hutang pokoknya. Jika hal ini terjadi juga, maka pihak debitur berhak menolak untuk membayar bunga yang melebihi batas tersebut.[7]
Demikianlah teori yang dikemukakan Syahrur tentang riba. Dapat disimpulkan bahwa menurutnya, bunga adalah riba, namun ia boleh dipungut asal memperhatikan kondisi objektif pihak debitur. Debitur dari kalangan anggota masyarakat yang termasuk dalam kategori mustahiq zakat dan sedekah, termasuk orang yang hanya mampu membayar hutang pokok, dipungut riba, bahkan sebagian dari mereka hendaknya tidak diberi kredit, melainkan hibah. Selain dari kalangan mereka, riba boleh dipungut, tetapi tidak boleh melebihi batas atas yang telah ditentukan.
Dalam konteks etika bisnis Islam, pemikiran Syahrur tentang riba memiliki implikasi yang berbeda dari pandangan yang umum dikenal. Menurutnya, tidak setiap bisnis yang melibatkan riba (bunga) itu dilarang, dan karenanya dianggap tidak etis. Riba dalam perjanjian kredit yang dibebankan kepada kalangan pelaku bisnis dan orang-orang yang berekonomi kuat tidaklah melanggar etika ataupun hukum Islam sepanjang riba yang dipungut tidak melebihi batas maksimal yang telah ditentukan. Dengan demikian, bunga bank konvensional menurut pandangan ini tidak dilarang karena bunga yang dipungut umumnya tidak berlipat ganda. Selanjutnya, bisnis apapun yang melibatkan bank konvensional sebagai mitra kerja dianggap tidak melanggar etika bisnis Islam.
Dengan demikian tampaklah bahwa aturan hukum Islam, khususnya mengenai riba, bersifat dinamis dan elastis yang pene-rapannya dapat mempertimbangkan kondisi objektif para pihak yang terlibat dalam sebuah perikatan bisnis. Konsep riba “kontemporer” yang digagas oleh Syahrur hendaknya dilihat dalam konteks gerak dinamis tersebut, gerak ini ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat yang selalu berubah dari waktu ke waktu
7. Siksa Bagi Pelaku Riba
Sebagaimana di sebutkan dalam suatu riwayat sirah nabawiyah bahwa barang-barang haram/riba yang tiada terhitung banyaknya sampai menyusahkan dan memberatkan mereka ketika harus cepat-cepat berjalan pada hari Pembalasan. Setiap kali akan bangkit berdiri, mereka jatuh kembali, padahal mereka ingin berjalan bergegas-gegas bersama kumpulan manusia lainnya, namun tiada sanggup melakukannya akibat maksiat dan perbuatan dosa yang mereka pikul.dalam Al-Qur’an surah al-Baqoroh ayat 275 di sebutkan bahwa “Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri kecuali seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat): Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Qatadah berkata: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta riba akan dibangkitkan pada hari Kiamat dalam keadaan gila sebagai tanda bagi mereka agar diketahui para penghuni padang mahsyar lainnya kalau orang itu adalah orang yang makan harta riba.”[8]
Rujukan
Anwar, Samsul. Studi Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: RM Books, 2007
Syahrur, Muhammad. Al-Kitab wa Al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah. Damaskus: Dar al-Ahali, 1990.
Ya’qub, Hamzah. Kode Etik Dagang Menurut Islam: Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi. Bandung: C.V. Diponegoro, 1999.
[1] H. Sulaiman Rasjid, “Fiqh Islam”, (Bandung : PT Sinar Baru Algensindo, 2006), hal. 290
[2] Syamsul anwar, studi hokum islam kontemporer, Jakarta, RM Books, 2007, hal 105
[3] Ibid,
[4] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hokum Islam, Jakarta, PT.Gunung Agung, 1993, hal 107
[5]Di samping sebagai insinyur, Syahrur juga mendalami filsafat dan filologi (ilmu bahasa) sebagai hobi. Dengan ketiga disiplin ilmu yang berbeda tersebut ia mencoba “membaca ulang” Qur’an dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman kontemporer dan ternyata ia memperoleh banyak temuan yang menakjubkan. Bukunya yang setebal 800-an halaman ini banyak menawarkan pandangan baru terhadap isi kandungan Qur’an khususnya, dan ajaran Islam pada umumnya, termasuk tentang riba. Lihat Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah, cet. 2 (Damaskus: Dar al-Ahali, 1990).
[6] Mengenai ihwal teori batas ini baca Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, hal. 445-466; bandingkan pula Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul fiqh, cet. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hal. 247-250. Syahrur menjelaskan teori ini dengan bantuan model analisis matematika dari Isaac Newton yang berupa persamaan Y= f(x). Penjelasan untuk persamaan ini menggunakan sistem kuadran yang memiliki sumbu X dan Y.
[7] Ibid.
[8] (Lihat Terjamah Al-Kaba’ir, Imam Adz-Dzahabi, hal. 53).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar