Pada era kemajuan teknologi saat ini, perkembangan ilmu astronomi menjadi sangat nyata peran dan andilnya, di mana ia mampu mengukur berbagai prediksi berkenaan dengan kejadian alam semesta, bahkan tentang awal mula kejadian alam.
Islam sendiri telah membudayakan cabang ilmu ini sebagai penentu waktu pelaksanaan ibadah. Shalat 5 waktu yang menjadi ritual rutin umat Islam dihitung waktu pelaksanaannya dengan perantara Falak. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan ritual ibadah lain seperti puasa? Apakah Falak memiliki peran di dalamnya? Pertanyaan ini muncul karena memiliki kaitan erat dengan hadis Nabi Saw. yang secara eksplisit memerintahkan rukyah sebagai alat peran penentuan awal Ramadhan. Lantas bagaimana kemungkinannya andaikata peran ini diambil oleh Ilmu Falak saja?
Mengacu pada soal-soal ini, SINAR Muhammadiyah berkesempatan melakukan wawancara eksklusif dengan tiga pakar astronomi Mesir. Yang pertama adalah Prof. Dr. Ahmad Sulaiman, MA. Kepala Observatorium Helwan, Mesir dan alumni Moscow University. Dua tim kami: (1) Arwin Rakhmadi Butar-butar, Rahmadi Wibowo, Muhammad Rofiq, Somanuddin, Afrino, Muhammad Nidauddin, Eva Linta Cahyani, dan Nurul Ujihati; (2) Butra Handra, Syukri Fauzi, Neneng SR, dan Nur Aini Mufrichah melaporkannya untuk anda:
SINAR: Menurut anda apa pengertian ilmu falak dan apa urgensi mempelajari ilmu ini dalam sudut pandang syariat Islam?
Prof. Dr. Ahmad Sulaiman, MA. (selanjutnya AS): Ilmu falak merupakan ilmu yang sudah ada sejak zaman dahulu kala dan berkembang terus hingga zaman sekarang. Sehingga ilmu falak bisa disebut sebagai parameter kemajuan sebuah peradaban. Maju tidaknya sebuah peradaban memang bisa dilihat salah satunya melalui sejauh mana capaian peradaban tersebut dalam dunia falak ini. Negara-negara maju biasanya mempunyai penguasaan yang jauh tentang dunia astronomi. Sebaliknya, negara-negara berkembang seperti Mesir dan Indonesia sendiri, bisa dipastikan belum terlalu jauh menguasai ilmu falak. Data dan penguasaan ilmu astronomi milik dua negara ini baru sampai pada level mukadimah, alias masih luarannya saja.
Ilmu falak adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk al-ajram al-samawiyah (benda-benda langit) yang berada di luar Bumi. Ilmu falak membahas seputar galaksi, matahari, bulan, bintang-bintang, planet dan semua benda angkasa. Ilmu falak berhubungan erat dengan ilmu fisika, kimia, matematika dan biologi. Maka, untuk mempelajari falak dan untuk menguasai ilmu astronomi secara baik, mutlak dibutuhkan juga ilmu-ilmu tersebut. Oleh karena itu, ilmu astronomi kontemporer sekarang tidak lagi hanya berbicara tentang benda-benda langit saja, tetapi juga mulai sampai pada studi tentang adanya kemungkinan makhluk hidup di luar angkasa (di planet lain), serta juga berbicara tentang adanya planet yang menyerupai Bumi. Dalam al-Qur’an memang terdapat dalil bahwa ada juga kehidupan di planet lainnya di tata surya. Dalam surat Syura ayat 29 disebutkan:
ومن اياته خلق السماوات والارض وما بث فيهما من دابة وهو على جمعهم اذا يشاء قدير
Al-Qur’an mengakui adanya dâbah di luar bumi yang bisa saja diinterpretasikan sebagai makhluk hidup seperti manusia. Makhluk hidup ini mungkin saja bentuknya seperti manusia yang hidup di bumi; memiliki tangan, mata, kaki dan juga berjalan. Illmu falak juga meneliti adanya hadlârah (peradaban-kehidupan) di luar bumi yang kita tinggali ini. Demikianlah definisi singkat mengenai ilmu falak. Definisi falak secara lebih detail sengaja tidak saya sebutkan karena nantinya jawabannya akan sangat panjang. Untuk keterangan lebih lanjut tentang ilmu falak beserta cabang-cabangnya, anda bisa membacanya dari buku saya "Sibâhah Fadlâiyyah fiy Afâqi Ilmi'l Falak" yang sebelumnya sudah saya hadiahkan untuk kawan-kawan AFDA.
Adapun urgensi mempelajari ilmu falak dalam sudut pandang syar'i adalah ilmu falak sangat penting untuk menetapkan waktu-waktu beribadah. Dan yang paling awal untuk kita diskusikan adalah mengenai salat, karena ia merupakan asas atau pondasi utama dalam ajaran Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwa kewajiban salat dalam Islam terikat dengan waktu-waktu tertentu. Waktu-waktu salat ini oleh Allah diatur bersesuaian dengan prinsip atau fenomena astronomis, yaitu posisi matahari terhadap bumi. Jadi untuk bisa melakukan salat tepat pada waktunya kita harus tahu terlebih dahulu memahami fenomena astronomis yang telah ditentukan Allah tersebut. Untuk melakukan salat zuhur, Allah mengatakan aqimi's salâta li dulûki syamsi (laksanakanlah salat saat matahari tergelincir). Dulûku syams secara secara Astronomi berarti Aberasi (inhirâf). Gelincir matahari ialah apabila matahari condong atau miring dari kedudukannya di tengah-tengah langit (di atas zenit) atau dinamakan <span>h</span>âlah istiwâ'. Sedangkan pelaksanaan ashar tepat setelah panjang bayangan satu kali panjang benda sebenarnya (menurut pendapat jumhur). Waktu Maghrib berarti saat terbenamnya matahari sampai hilangnya cahaya merah di langit barat. Waktu Isya' ditandai dengan mulai memudarnya cahaya merah di ufuk barat, yaitu tanda masuknya gelap malam (QS. Al Isra' : 78). Waktu Subuh adalah sejak terbit fajar shidiq (fajar sebenar) hingga terbitnya matahari.
Kedua, ilmu falak juga berperan dalam menentukan penanggalan kalender qamariyah, yaitu saat terlihatnya hilal pada tanggal 28/29 (dua puluh delapan atau dua puluh sembilan). Apabila hilal terbenam sebelum matahari terbenam, maka esok harinya di-istikmal-kan sebagai hari terakhir bulan qamariyah. Tapi, bila matahari terbenam lebih dahulu dari pada bulan, maka keesokan harinya adalah bulan baru hijriyah. Ketiga, ilmu falak bisa berfungi menentukan kiblat salat, yaitu dengan mengetahui pergerakan angin yang bisa dilihat lewat kompas sehingga kita tahu di mana kita berada dan ke mana harus menghadap kiblat untuk salat. Kira-kira apalagi pekerjaan yang paling urgen dalam Islam selain menentukan waktu salat, arah kiblat dan mengetahui terjadinya awal bulan baru hijriyah? Ini adalah bukti bahwa mempelajari ilmu falak sangatlah penting dalam sudut pandang syariat Islam.
SINAR: Apa perbedaan antara sistem penanggalan syamsiyah (masehi) dan penanggalan hijriyah, serta manakah yang lebih utama dari keduanya?
AS: Penanggalan qamariyah dibuat berdasarkan pergerakan bulan terhadap bumi. Habisnya al-dawrah al-falakiyyah (satu putaran) bulan adalah pertanda masuknya bulan baru. Dalam al-Quran dijelaskan bahwasanya dalam satu tahun terdapat 12 (dua belas) bulan. Kata al-Quran: "inna 'iddata syuhûri indal'Lâhi istnâ 'asyara syahran" (jumlah bulan yang telah ditentukan Allah ada dua belas, red). Jadi sebagaimana diterangkan al-Quran bahwa jumlah bulan dalam Islam adalah dua belas, yaitu banyaknya putaran yang dilakukan oleh Bulan terhadap Bumi. Tidak ada satu sistem penanggalan pun di dunia ini, baik penanggalan yang dibuat oleh orang Islam, Kristen dan Yahudi, yang jumlahnya lebih dari dua belas belas.
Sistem kalender hijriyah menggunakan aturan astronomis yang terjadi selama berputarnya bulan terhadap bumi. Sistem ini dimulai pada saat ghurûbu al-syams (terbenamnya matahari atau maghrib) dan berakhir dengan terjadinya lagi ghurûbu al-syams. Begitu pula tahun dalam kalender hijriyah. Ia bermula dan berakhir dengan tenggelamnya matahari. Inilah keistimewan kalender qamariyah dibandingkan dengan kalender masehi yang bersandar pada fenomena perputaran bumi terhadap matahari. Tenggelamnya matahari adalah fenomena nyata dan jelas bagi setiap manusia. Dengan demikian, pembatasan dan penetapan bulan baru bagi manusia menjadi lebih mudah, yaitu cukup dengan memperhatikan putaran-putaran yang dilakukan bulan terhadap bumi. Awal dan akhir satu hari, satu bulan dan satu tahun bisa disaksikan dan dimengerti oleh siapa saja, baik dia seorang pakar yang mengerti banyak ilmu astronomi maupun seorang manusia awam. Adapun kalender masehi, ia berbeda dengan kalender hijriyah. Ada banyak masyâkil (problem) dalam sistem penanggalan ini. Permulaan tahunnya tidak jelas, panjang (umur) satu tahun juga tidak jelas. Satu tahun dalam kalender masehi sama dengan 365 hari, 5 jam, 48 menit, sekian detik, atau sama dengan 365 hari dan kurang dari 1/4 hari. Al-Kasr (pecahan angka) inilah yang kemudian menyebabkan permulaan kalender masehi menjadi tidak jelas permulaannya. Misalnya suatu ketika perhitungan astronomis mengatakan bahwa awal tahun masehi di tahun sekian akan bermula pada jam 00 (nol-nol), bisa dipastikan pada tahun berikutnya awal tahun baru (Januari) tidak lagi jatuh pada jam 00 (nol-nol) lagi, tapi bisa jadi akan jatuh pada pukul 5 (lima) 48 menit, tahun berikutnya lagi awal tahun baru akan jatuh pada jam 11 (sebelas) menit 36 (tiga puluh enam), tahun berikutnya tahun baru akan jatuh pada jam 18, dan seterusnya-dan seterusnya.
Permasalahan pertama sebagaimana saya jelaskan tadi permulaan tahun dalam sistem penanggalan kalender masehi kurang jelas dan tepat. Belum lagi pada setiap empat tahunnya, kita harus menggenapkan pecahan angka tadi ke bulan Februari. Jadi dalam kalender masehi kita akan menemukan satu bulan Februari yang umurnya 29 (dua puluh sembilan hari) yang hanya terjadi setiap empat tahun sekali atau disebut tahun kabisat, sementara selainnya disebut tahun basitah. Konsekuensi lain dari penambahan ini (penambahan 1 hari setiap 4 tahun, red) memberi penambahan lagi dalam setiap 400 tahun sebanyak 3 hari, artinya kita harus membagi lagi 3 hari tersebut dalam 400 tahun, yang ini disebut sanah al-qarniyyah (tahun abad), yaitu tahun yang memiliki kelipatan seratus (seperti 2100, 2200, 2300, 2400, dst). Selain itu, tahun abad yang bisa dibagi 400 (tahun kabisat, red), maka ditambahkan hanya pada bulan Februari saja (Februarinya 29 hari, red), sementara itu jika tidak bisa dibagi 400 bukan dipandang sebagai tahun kabisat, artinya februarinya tetap 28 hari.
Inilah beberapa bentuk problem (masalah) dalam sistem kalender masehi. Sementara dalam kalender hijriyah, musykilah ini tidak akan kita temukan karena ia berpegang pada sebuah fenomena astronomis yang bisa disaksikan oleh mata, yaitu perputaran bulan terhadap bumi. Seandainya kita salah dalam menentukan awal bulan hijriyah, (karena cuaca tidak mendukung misalnya, red), pada hari ketiga atau hari ke empat, kita akan bisa menyaksikan hilal muncul di atas langit, dan kita secara otomatis bisa membenarkan kesalahan rukyah di awal tadi. Dalam muktamar falak internasional (diadakan di Jakarta oleh PP Muhammadiyah, red) yang baru saja saya ikuti beberapa hari yang lalu, saya juga menuliskan dalam paper yang saya presentasikan keistemewan-keistimewaan kalender hijriyah.
Bulan-bulan dalam kalender hijriyah tidak bisa dikaitkan dengan fenomena musim atau cuaca. Sebagai contoh adalah bulan Ramadhan. Bisa saja tahun ini Ramadhan datang pada musim panas, di tahun-tahun berikutnya jatuh pada musim dingin. Begitu juga dengan haji; bisa di musim semi, musim gugur, musim panas dan musim dingin. Menurut saya, di sinilah hikmah ditetapkannya kewajiban ibadah (puasa dan haji) berdasarkan kalender bulan, yaitu agar manusia tidak merasa keberatan dalam melaksanakan ibadah. Bayangkan bila musim haji dan puasa selalu jatuh pada bulan panas? Sudah barang pasti banyak orang-orang yang akan bergelimpangan karena tidak kuat menahan panas dan lapar. Beda halnya bila jika puasa datang dalam musim yang berbeda-beda. Jika kebetulan sedang jatuh pada musim panas berarti itu adalah salah satu bentuk ujian terhadap keimanan hamba-Nya.
SINAR: Doktor, Bagaimana kita menetapkan awal bulan hijriyah, apakah menggunakan hisab ataupun rukyah ataukah kira-kira ada jalur kombinasi antara keduanya?
AS: Pertanyaan bagus sekaligus juga menarik untuk dijawab. Permasalahan hisab-rukyah saat ini adalah permasalahan krusial di tengah negara-negara Islam, apakah menggunakan hisab atau menggunakan rukyah? Sebenarnya masalah ini kalau kita sederhanakan (kita anggap mudah), maka ia akan menjadi sangat mudah. Sebaliknya jika ia kita anggap sulit maka otomatis ia akan menjadi perkara pelik, padahal ia memang tidak sulit. Sebuah kaedah syariah mengatakan bahwa hisab yang benar selamanya akan bersesuaian dengan rukyah sahihah (benar). Lalu sekarang pertanyaannya, seperti apa rukyah sahihah itu? Ada banyak syarat yang harus terpenuhi dalam rukyah agar tidak dikatakan sebagai rukyah yang ngawur. Syarat pertama adalah hendaknya orang yang melakukan rukyah adalah orang yang adil. Siapakah yang dimaksudkan dengan orang yang adil dalam konteks rukyah ini? Jelas ia bukan sembarang orang. Jika ada orang yang tidak punya kapabilitas datang kepada saya misalnya, lalu mengatakan bahwa saya telah melihat hilal, apakah saya bisa terima kesaksiannya begitu saja? Tidak! Saya harus mengecek kesaksian tersebut terlebih dahulu. Bagaimana ia melihat hilal, di mana ia melihatnya, dalam kondisi apa ia bisa melihat hilal, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Seorang mufti atau siapa saja yang memiliki otoritas memberikan keputusan-keputusan syar’i harus terlebih dahulu memastikan sejauh mana kapasitas keilmuan dan keagamaan seorang yang mengaku telah melihat hilal.
Siapa saja orang adil dalam konteks rukyah ini? Pertama, hendaklah orang yang sehat jasadnya (penglihatannya). Kedua, orang yang sehat akalnya. Ketiga, diakui sebagai orang yang bertaqwa (terpercaya). Keempat, memiliki pengetahun astronomis tentang hilal; tempat munculnya, waktu munculnya dan bentuk saat pertama hilal muncul. Dengan demikian ia tidak bisa sembarangan mengklaim telah melihat hilal. Sebab, hilal tidak muncul di sembarang tempat dan sembarang waktu, hilal juga hanya muncul dalam bentuk-bentuk tertentu.
Dalam masalah ini ada kisah menarik mengenai sahabat Anas bin Malik. Suatu ketika Anas bin Malik yang sudah berumur tua dan memiliki alis mata lebat -yang panjangnya sampai menutup matanya sendiri- mengaku di depan sahabat lainnya telah melihat hilal. Oleh sahabat yang lain, bulu alis mata sahabat Anas dinaikkan terlebih dahulu sampai ia tidak lagi menutup matanya sendiri. Lalu kepada sahabat Anas ditanyakan, “apakah anda masih melihat hilal”. Anas menjawab: “tidak”! Kisah ini membuktikan bahwa perkara rukyah bukanlah perkara yang sederhana. Tidak bisa laporan dari sembarang orang diterima begitu saja. Hasil rukyah bisa saja ditolak jika bertentangan dengan hasil hisab. Kenapa demikian? Karena sistem hisab (perhitungan) yang ada di zaman sekarang adalah sesuatu yang qath’iy. Hisab berbeda dengan rukyah yang zhanniy.
Kesimpulannya, kita bisa menggunakan dua sistem ini secara bersamaan. Dari hisab yang pasti dan dari rukyah yang dilakukan secara ilmiah. Rukyah ilmiah adalah rukyah yang didahului oleh observasi, sehingga bisa diketahui tempat-tempat yang layak untuk digunakan melakukan rukyah. Rukyah harus dilakukan di tempat luas yang tidak ada di tumbuhi pohon-pohon, agar tidak mengganggu sampainya pandangan kita ke arah ufuk. Artinya, kita hanya bisa melihat hilal di bagian ufuk barat (tempat tenggelamnya matahari), lima derajat ke kanan, lima derajat ke kiri, delapan derajat atas. Lingkup wilayah inilah yang memungkinkan untuk iltimâs (melihat) hilal, di samping lokasinya harus lebih tinggi dari permukaan laut, jauh dari cahaya lampu kota yang dapat menyulitkan melihat hilal. Jadi, dalam rukyah tidak saja yang dibutuhkan adalah syâhid âdil (saksi yang adil), tapi juga makân âdil (tempat yang tepat). Di Republik Mesir ini, kami memiliki tujuh tempat yang setelah kami teliti paling layak untuk dijadikan lokasi rukyatul hilal; Helwan, Sitta Oktober, Qatamiyah, Salom, Wahat, Qina dan Aswan. Untuk melihat hilal di tujuh empat ini ada lajnah (komite) tersendiri yang merupakan gabungan dari berbagai komponen; peneliti falak dari Ma'had Al-Qawmi Li'l Buhûts al-Falakiyyah Wa'l Geofizikiyyah Helwan, anggota Dârul Iftâ (lembaga fatwa Mesir) serta beberapa pakar astronomi dari Departemen Astronomi Universitas al-Azhar dan Universitas Kairo. Komite gabungan ini secara otomatis telah merepresentasikan syâhid adil yang menjadi syarat utama dalam rukyah.
Oleh karena itu, secara tegas saya sampaikan kepada negara-negara Islam di seluruh dunia, janganlah kalian merepotkan diri kalian sendiri. Apa sulitnya jika kita mengkombinasikan dua hal ini; menghitung dan membentuk komite rukyah yang adil? Jika semua prosedur dalam melakukan hisab dan pembentukan komite ini telah terpenuhi, maka hasil perhitungan hisab dan observasi rukyah tidak akan bertentangan. Adapun problem yang terjadi di Indonesia adalah adanya tiga metodologi yang satu sama lain tidak mau saling bersatu; metode yang digunakan oleh pemerintah, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama. Andai saja tiga metode ini bisa disatukan niscaya tidak akan ada perbedaan hari raya. Ketika berada di Indonesia, saya menyempatkan diri untuk datang ke marshad (pusat observasi falak) di Bandung (LAPAN, red), yaitu tepatnya pada hari Senin. Program yang dimiliki oleh marshad ini sudah sangat canggih sekali, di mana dengan alat ini bisa dilakukan hisab (penghitungan) dengan sangat sempurna dan bisa juga dilakukan tamtsil (simulasi) rukyah ke arah horison sebelah barat di berbagai tempat di Indonesia. Jadi kalau program ini digunakan, secara otomatis kita telah meng-cover hisab dan rukyah.
Tidak ada masalah dengan perbedaan waktu, Negara Indonesia yang memiliki tiga waktu (WIB, WITA, WIT) memang kadang-kadang akan menemukan perbedaan hari raya antar satu wilayah dengan wilayah lainnya. Secara astronomis perbedaan tersebut tidak mungkin lebih dari satu hari. Namun perbedaan itu hanya terjadi kadang-kadang saja. Di sebagian besar waktu perbedaan tersebut lebih sering tidak terjadi. Ini seperti halnya pada masa sahabat (Kuraib ra., red) berpuasa di Syam hari sabtu, sementara di Hijaz hari Jum'at. Ini terjadi karena rukyat di Hijaz hari kamis dan di Syam hari Jum'at. Dalam hal ini Rasul S.a.w. tidak mempermasalahkannya. Kemungkinan terjadinya perbedaan hari pertama bulan Ramadhan hanya berkisar 3 % saja.
Untuk tahun ini (1428 H, red), tidak ada masalah di awal dan di akhir Ramadhan (hilal tidak terlihat di awal maupun di akhir Ramadhan). Sya'ban disempurnakan menjadi 30 hari begitu juga Ramadhan. Karakteristik pada kami (di Mesir, red) sama dengan kalian (Indonesia, red), duduk persoalannya jelas.
Keadaan lain, yaitu di mana bulan terbenam sebelum terbenam matahari di sebagian wilayah timur, dan sebaliknya di sebagian wilayah barat. Ini merupakan keadaan atau fakta yang merupakan efek samping dari perbedaan mathla'. Ini jelas, kita tidak akan bisa menyatukannya. Kecuali dengan atau dalam keadaan tertentu, yaitu siapa yang melihat hilal (sesuai dengan perhitungan hisab yang akurat) maka ia berpuasa, dan siapa yang tidak melihat hilal (sesuai juga dengan perhitungan hisab yang akurat), maka ia tidak berpuasa dan menggenapkan bulan. Namun seorang mufti (pemegang keputusan agama) boleh membuat satu keputusan yang mengikat semua kalangan, baik itu yang sudah melihat hilal atau pun yang belum melihat hilal. Andaipun tidak terlihat hilal, maka boleh memakai mathla'-nya masing-masing, perbedaan tidak lebih dari satu hari saja.
Kembali ke pertanyaan anda tadi, apakah kita harus menggunakan hisab saja atau rukyat saja, saya menjawabnya kita bisa menggunakan kedua-duanya. Apabila hasil perhitungan hisab dan hasil observasi rukyah berbeda maka yang didahulukan adalah hisab. Karena rukyah adalah metode yang hasilnya zhanny. Ada banyak kendala yang menghalangi kita untuk mencapai hasil yang benar dan tepat melalui rukyah. Sementara hisab dengan banyaknya metode yang digunakannya, tetap akan menghasilkan natijah (hasil) yang qath'iy. Adapun alasan mengapa kita masih menggunakan rukyah adalah karena demi menghidupkan sunah Rasulullah. Dalam rangka mengikuti nasehat Nabi, kita juga mengamalkan hisab. Nabi Muhammad Saw. pernah bersada: "fa in ghumma 'alaikum, fa aqdirû lah". Maksud dari fa aqdirulah di hadis ini adalah melakukan penghitungan. Nabi Muhammad Saw. menyadari bahwa umatnya saat itu adalah umat yang belum memiliki capaian keilmuan yang maju; mereka tidak bisa membaca, menulis dan menghitung. Jadi saat itu Nabi mengatakan kepada mereka akmilû lahu (sempurnakanlah hitungannya). Jika Nabi berbicara dengan umatnya yang mengerti perhitungan Nabi mengatakan aqdirûlah. Perkataan yang dikeluarkan oleh Nabi menyesuaikan dengan kadar keilmuan lawan bicaranya. Sementara kita sekarang ini sudah memasuki era yang sangat canggih yang perhitungan tidak dilakukan lagi secara manual saja, tapi juga melalui sistem komputasi. Di zaman teknologi ini kita harus menggunakan sistem hisab. Bukankah dalam al-Quran dikatakan: "iqra bismi rabbika al-ladzi khalaq. Khalaqal insana min alaq. Iqrak wa rabbukal akram. Alladzi allama bil qalam. Allamal insana ma lam ya'lam.
SINAR: Berdasarkan keterangan anda tadi, bisakah kita hanya berpegang semata pada satu pola saja, yaitu hisab, dan kita tinggalkan rukyah yang mengandung banyak unsur probabilitas?
AS: Menggunakan dua metode ini -hisab dan rukyah- untuk memastikan masuk belumnya bulan baru lebih baik dari pada kita hanya menggunakan satu metode saja. Hisab memang sudah sangat detail, jadi memang harus konsisten kita gunakan. Tapi bukan berarti dengan demikian kita meninggalkan begitu saja metode rukyah. Saya minta diberikan alasan keberatan menempuh jalur rukyah ini. Bukankah dengan melakukan rukyah berarti kita juga sudah menghidupkan sunah Rasulullah Saw. yang dalam hadisnya mengatakan: “shûmû lirukyatihi wa aftirû li rukyatihi”? Kalau kita menggunakan dua metode ini -jika nanti hasilnya tidak bertentangan- bukankah itu akan lebih membuat kita ithmi’nân (tenang) dari pada hanya dengan satu metode saja. Jika rukyah memang sulit untuk dilakukan kita boleh hanya berpegang pada hisab. Tapi selama rukyah masih mungkin untuk dilakukan kenapa kita tidak kita lakukan?
SINAR: Doktor, dalam pandangan kami ada celah negatif (kalau boleh dikatakan demikian) pada metode rukyah. Rukyah dalam pandangan kami adalah suatu metode yang sangat lamban. Bayangkan untuk memastikan bulan baru telah terjadi atau belum, kita harus terlebih dahulu menunggu tanggal 28 atau tanggal 29 untuk bisa melakukan ritual rukyah? Padahal jika saja kita bersedia menggunakan satu jalur saja-hisab- kita tentu sudah bisa menentukan kapan bulan baru terjadi. Lagipula jalur hisab dalam syarat Islam adalah jalur yang legal. Menggunakan hisab saja menurut kami lebih tepat dan sesuai dengan maqashid syariah, di mana sejak jauh-jauh hari kita sudah bisa membuat jadwal kegiatan kita dan sudah bisa merancang apa yang akan kita lakukan di kemudian hari. Bukankah agama Islam adalah agama yang penuh perencanaan (wal yakhsal’Ladzina lau taraku min khalifhim dzuriyyatan di’afan khafu alaihim 'adzâbal’Lâh). Mohon komentar anda?
AS: Betul bahwa dengan hisab kita bisa melakukan perencanaan bahkan pelacakan data sejarah. Kita bisa menghitung fenomena-fenomena dalam dunia falak yang terjadi 50.000 tahun yang lalu dan 50.000 tahun yang akan datang. Dengan hisab kita juga bisa mengetahui waktu dan tempat akan terjadinya gerhana matahari dan gerhana bulan. Adapun rukyah, ia memang hanya berlaku untuk mengetahui sesuatu yang akan terjadi dalam waktu dekat (untuk satu bulan saja). Maka dalam aplikasinya, hisab harus lebih didahulukan dari rukyah setelah itu baru rukyah. Tapi kedua-keduanya harus tetap digunakan. Karena jika persyaratan dalam hisab yang benar dan rukyah yang benar telah terpenuhi, maka natijah (hasil) nya pasti akan sama.
SINAR: Doktor, kalau hasil hisab sudah pasti benar, kenapa kita harus memberatkan diri sendiri dengan masih melakukan rukyah?
AS: Nilai relevan dan urgen dari penggunaan rukyah (sekalipun hisab sudah pasti) adalah dalam rangka menghidupkan sunah Rasul. Sekalipun zaman sangat secanggih dan perkembangan teknologi sudah sedemikian pesat, kita masih harus tetap menggunakan rukyah, sebab ia merupakan sunah Rasulullah Saw.. Kalau kita tinggalkan rukyah, lalu bagaimana kita memaknai perintah Nabi untuk melakukan rukyah. Bukankah sama saja kita telah melakukan ta’thil (penggugatan, dekonstruksi) terhadap hadis Nabi?! Lagipula, rukyah adalah sebuah metode yang sederhana dan bisa digunakan oleh semua orang. Sementara hisab hanya bisa dipakai oleh orang yang mengerti perhitungan dan mengerti astronomi. Kalau kita menempuh satu jalur hisab saja, berarti sama saja kita membebani orang-orang awam dengan hal yang berada di luar batas kemampuan mereka. Untuk masyarakat pedesaan (orang yang tidak mengerti hisab), rukyahlah satu-satunya cara untuk mengetahui kapan terjadinya bulan baru. Saya ingin bertanya pada anda; apakah anda bisa memastikan bahwa setelah seratus tahun atau dua ratus tahun yang akan datang, umat manusia sudah bisa semua baca tulis, sudah bisa semua melakukan penghitungan astronomis? Saya yakin belum tentu! Jadi, semaju apapun zaman kita ini, rukyah tetaplah akan relevan.
SINAR: Doktor, ada satu alasan kenapa kami bersikukuh memperjuangkan satu pola hisab saja, yaitu pengalaman kami berhari raya di negara kami Indonesia. Klaim–klaim telah melihat hilal seringkali kami dengar, padahal secara perhitungan hisab, hilal sudah pasti belum wujud dan tidak mungkin bisa dilihat karena ijtimak belum terjadi. Selain itu dalam rukyah seringkali kita menerima dan mendengar laporan yang kontradiktif satu sama lain. Satu mengatakan telah melihat, satu mengatakan belum melihat. Jadi, sistem rukyah dalam pandangan kami hanya akan membuka celah asal klaim bagi orang yang tidak paham permasalahan dan celah perdebatan bagi orang yang telah melihat dan orang yang belum melihat hilal?
AS: Kasus yang sering terjadi di Indonesia tidak bisa digeneralisir. Permasalahan di Indonesia tidak besumber dari metode hisabnya atau metode rukyahnya. Akan tetapi permasalahan ada dalam diri kalian sendiri. Masing-masing kelompok bersikeras menerapkan metodologi sendiri-sendiri dan enggan melakukan penyesuaian dengan kelompok lain. Mohon maaf, menurut saya, praktek demikian bukanlah ajaran Islam yang sebenarnya. Seorang muslim tidak boleh berpegang pada kebenaran pendapatnya sendiri lalu kemudian memaksakannya kepada kelompok lain. Apalagi sejak awal sudah dikatakan bahwa metode hisab serta metode rukyah harus dikawinkan karena keduanya tidak akan bertentangan. Kita bisa saja mengabaikan satu metode jika metode ini tidak tepat. Tapi permasalahannya adalah hisab dan rukyah adalah dua metode yang saling berkaitan dan tidak akan melakukan kesalahan, apalagi jika kriteria penggunaan keduanya sudah tepenuhi. Menurut hemat saya, kasus di Indonesia itu sudah sedikit bercampur dengan ‘ashabiyyah (fanatisme golongan). Seorang warga Muhammadiyah akan menggunakan hisab saja, seorang anggota Nahdhatul Ulama (NU) akan menggunakan rukyah saja. Dan begitulah seterusnya. Menurut saya, sesama umat Islam kita harus memiliki kelapangan dada untuk saling menerima satu sama lain (tafâhum).
SINAR: Doktor, apa hasil yang dicapai pada pertemuan ahli falak international yang diadakan di Jakarta oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah beberapa hari yang lalu?
AS: Terlebih dahulu harus saya sampaikan kesan yang saya dapatkan selama mengikuti muktamar ini. Muktamar ini menurut saya kurang persiapan, padahal muktamar ini diadakan dalam level internasional. Tema yang dibahas pun adalah tema yang urgen sekali, yaitu shiyâghah mabâdi al-taqwîm al-islâmiy al-'âlamiy (penyatuan kalender Islam Internasional). Tidak masuk akal menurut saya jika kita ingin mengadakan muktamar falak internasional, lalu kemudian kita melakukan memilih peserta muktamar dan meminta mereka membuat paper dalam rentang waktu yang hanya satu bulan atau dua bulan. Di ma'had ini (pusat observasi astronomi dan geo-fisika nasional yang berlokasi di Helwan, red) kami mengadakan muktamar falak setiap dua tahun sekali. Setiap selesai satu muktamar kami langsung menyiapkan materi muktamar yang akan digelar dua tahun ke depan.
Selanjutnya, yang paling penting dalam muktamar sebenarnya adalah adanya lajnah ilmiyah (komite konseptor), lajnah munazzhim (panitia pelaksana), pendanaan yang cukup, dan satu lagi; muktamar hendaknya diikuti oleh seluruh pakar falak perwakilan dari negara-negara Islam di seluruh dunia. Bagaimana bisa kita mengambil qarar (keputusan) jika kita hanya mengambil lima peserta dari luar negri. Ada berapa jumlah negara Islam di seluruh dunia? Misalnya ada seratus negara Islam. Peserta yang hadir juga harus seratus sebagai perwakilan dari negara masing-masing atau minimal 3/4 (tiga perempat) dari seluruh negara Islam yang ada di dunia. Dengan demikian jika muktamar mengambil keputusan, maka seluruh negara Islam harus mengikuti keputusan tersebut. Dalam muktamar falak tempo hari, saya hanya menemukan empat orang peserta dari luar negeri; Mesir, UEA, Maroko dan Malaysia. Dari empat orang itu pun yang mengerti falak secara detail hanya dua orang; saya (Mesir, red) dan Dr. Muhammad Ilyas (Malaysia, red). Mengadakan muktamar internasional tidak cukup dengan hanya melibatkan ahli-ahli falak dari Indonesia saja. Ini mohon maaf sekali, fakta yang saya temukan tempo hari mengatakan lain. Peserta yang hadir mayoritas adalah orang-orang Indonesia sendiri. Di akhir muktamar saya sempat menuliskan kritik saya ini di atas kertas quesioner yang dibagikan kepada peserta menjelang berakhirnya acara muktamar. Saya juga sampaikan bahwa mari kita posisikan muktamar ini sebagai mukadimah atau pembuka bagi muktamar-muktamar internasional lainnya yang lebih besar.
SINAR: Lalu, bagaimana dengan ide penyatuan kalender Islam internasional itu sendiri, Prof?
AS: Saya 80 % persen sepakat dengan ide itu. Kenapa 80 %? Karena menurut saya tidak mungkin kita bisa membuat sebuah kalender yang bisa diikuti oleh semua negara Islam dalam semua kondisi. Persentase ini masuk dalam empat keadaan pasti dari lima keadaan pasti (al-hâlat al-qâthi'ah al-khamsah) hilal. (Lima kondisi hilal ini juga disampaikan oleh narasumber di muktamar, red).
Karakteristik bulan dan al-kaun (alam semesta) secara umum tidaklah sama. Peredaran bulan pada bumi, awal peredaran, periode peredaran bulan di sekitar bumi tidak selalu sama atau tidak pernah tetap. Tidak ada yang konstan di alam ini. Oleh karena itu tidak mungkin kita menyatukan sesuatu yang secara natural telah dibuat Allah berbeda-beda. Allah Swt. menjadikan bulan berbeda-beda dalam peredarannya. Adakalanya bulan berada pada titik sha'idah (bulan berada pada titik tertinggi dalam peredarannya, red) adakalanya pada titik habithah (bulan berada pada titik terendah dalam peredarannya, red). Periode peredaran bulan berbeda antara satu waktu dengan waktu yang lain, seperti halnya periode edar bumi pada matahari juga berbeda-beda. Madar (edar) nya (bulan dan matahari, red) juga tidak lurus, namun berbentuk qalaqil (bergerak lengkung-lengkung, red). Lalu, bagaimana mungkin kita buat sama, padahal Allah Swt. telah menjadikannya berbeda-beda. Bukankah Allah telah berfirman: "Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia akan menjadikan manusia umat yang satu, akan tetapi mereka masih berbeda-beda." Berarti, Allah telah menciptakan dunia ini dengan banyak perbedaan-perbedaan. Sekali lagi, tentang bulan (qamar) tadi, tidak mungkin seluruh negara Islam sama 100 persen, ini ghair wâqi'iy (tidak realistis). Tetap saja dalam hal ini terdapat perbedaan. Wa Allahu A'lam.
assalamualaikum wr wb
semoga kita mendapat safaat di yaumil masar kelak amin . landasan hisab itu tertulis di tiang aras urutan urufnya di lihat rasullulah saw di saat israk dan migrat, tentu allah sang pencipta alam yang menuliskannya ini metode yg kita pakai untuk menentukan awal bulan hijriyah lebih jelasnya baca rotasibulan.blogspot.com