Sabtu, 20 November 2010

KEWARISAN MENURUT HUKUM PERDATA INTERNASIONAL DAN HUKUM ISLAM

A.  Kewarisan dalam Hukum Islam
  1.           Pengertian
            Secara etimologis, mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras yang berarti harta yang diwariskan.[1] Dalam hukum Islam dikenal adanya ketemtuan-ketentuan tentang siapa yang termasuk ahli waris, yang berhak menerima warisan, dan ahli waris yang tidak berhak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya.
            Adapun secara terminologis, mawaris adalah ilmu tentang pembagian harta peninggalan seseorang setelah ia meninggal dunia. Pembagian harta warisan tersebut diatur dalam fiqih mawaris atau disebut juga dengan ilmu faraid yang artinya ketentuan-ketentuan bagian ahli waris sudah diatur secara rinci di dalam al-Qur’an maupun. As-Sunnah.[2]

2.       Dasar dan Sumber Hukum Kewarisan Islam
            Pokok-pokok ilmu mawaris, baik yang berkaitan dengan pembagian maupun syarat-syarat ahli waris, telah daiatur dalam sumber hukum Islam. Sumber hukum utama yang dijadikan sebagai pedoman dalam pembagian warisan adalah al-Qur’an dan hadis. Rosul saw pernah menginformasikan kepada umatnya bahwa “Bagikanlah harta warisan di antara para ahli waris menurut kitabullah”
            Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang berkaitan secara langsung dengan hukum waris diantaranya yaitu surat an-Nisa’ ayat: 7, 8, 11, 12, 13, 14, 33, dan 176, serta surat al-Anfal ayat 75.
            Selain ayat al-Qur’an ada beberapa hadis, salah satunya hadis Nabi dari Ibnu Abbas menyatakan bahwa “berikanlah Faraid (bagian-bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat” [3]

3.  Hubungan Kewarisan dalam Islam
            Dalam Islam harta seseorang yang telah meninggal dunia, maka dengan sendirinya beralih kepada orang hidup yang memiliki hubungan dengan orang yang telah meninggal dunia tersebut. Dalam literatur hukum Islam atau fikih, setidaknya ditemukan ada dua hubungan yang menyebabkan seseorang menerima harta warisan dari seseorang yang telah meninggal yaitu:

a)        Hubungan Kekerabatan
             Diantara sebab beralihnya harta seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan silaturrahmi atau kekrabatan antara keduanya yang ditentukan oleh adanya hubungan darah yang ditentukan pada saat adanya kelahiran.[4] Seperti seorang anak yang memiliki hubungan kerabat dengan ibu yang melhirkannya.
            Untuk mempermudah menentukan hubungan kekerabatan harus ditentukan dari mulai hubungan kekerabatan garis keatas (kakek, nenek dan seterusnya keatas), Kebawah (cucu dan cicit) dan kesamping (anak dari ayah, anak dari ibu dan anak dari kakek).[5] Dengan demikian dapat disusun tangga kekerabatan yang saling bertautan.

b)       Hubungan Perkawinan
            Di samping hak kewarisan berlaku atas dasar hubungan kekerabatan, hak kearisan juga berlaku atas dasar hubungan perkawinan, dengan arti bahwa suami ahli waris bagi istrinya yang meninggal dan istri ahli waris bagi suaminya yang telah meninggal.[6]

B.     Kewarisan dalam Hukum Perdata Internasional (HPI)
            Pada dasarnya pewarisan adalah pemindahan segala hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia (Pewaris) kepada ahli warisnya.[7] Masalah-masalah yuridis yang timbul dari persoalan dan proses pewarisan, seringkali bersumber pada dua masalah pokok yaitu:
1.    Pewarisan yang diatur berdasarkan Undang-Undang, dalam pewarisan tidak menyatakan dengan tegas keinginannya melalui testament (ab Intestate atau Intestate Succession)
2.    Pewarisan melalui testament, yaitu keinginan pewaris terhadap harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia yang dinyatakan dalam testamen (Testamentary Sucession)
            Persoalan pewarisan semacam itu menjadi masalah Hukum Perdata Internasional (HPI) bila didalamnya terlibat sejumlah unsur asing, yang pada akhirnya memunculkan persoalan tentang hukum mana atau apa yang harus digunakan untuk mengatur pewarisan yang bersangkutan.[8]
            Dalam hukum perdata Islam Internasional pewarisan adalah suatu pemindahan segala hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia kepada para ahli waris,[9] sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 833 BW bahwa pewarisan adalah sebagai suatu proses pemindahan hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang dari seseorang yang meninggal dunia kepada para ahli warisnya.
            Fakta-fakta dalam perkara pewarisan yang secara potensial yang umumnya dapat mempertautkan perkara dengan suatu sistem hukum baik lokal maupun asing adalah[10]:

1.    Status dan kedudukan benda atau harta peninggalan
2.    Penentuan kapasitas hukum atau kemampuan hukum si pewaris
3.    Penentuan validitas substansial dan atau formal dari testamen
           
1.       Proses Berlangsungnya Pewarisan dalam HPI
                Dalam hukum perdata Internasional, proses berlangsungnya pewarisan bisa terjadi dengan sendirinya, tanpa perbuatan hukum si pewaris atau bisa juga melalui suatu perbuatan hukum yang dilakukan si pewaris sewaktu masih hidup dengan membuat suatu testamen atau surat wasiat.[11]
            Di Inggris pewarisan tanpa wasiat berlaku untuk benda-benda tidak tetap maka berlaku ketentuan Lex Domicili, yaitu hukum dari domisili si pewaris. Lex Domicili ini menentukan siapa saja para ahli waris, berapa besar bagian masing-masing dan bagaimana prioritas atau garis keutamaannya. Untuk benda-benda tatap berlaku Lex Situs, yaitu berlakunya hukum dari suatu negara dimana benda tersebut terletak.
            Lex Situs berlaku juga untuk pewarisan benda-benda tetap melalui wasiat. Sedangkan untuk pewarisan benda tidak tetap melelui wasiat ditentukan oleh kemampuan si pewaris untuk menyatakan kehendaknya, yang ditentukan oleh Lex Domicili dari si pewaris atau pembuat wasiat. Bila si pembuat wasiat telah berpindah domisili baik dari waktu membuat wasiat ataupun pada waktu kematiannya, maka mengenai domisili ini ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh pakar Hukum Perdata Internsioanal yaitu:
1)   Dicey dan Cheshire, menyatakan bahwa domisili si pembuat wasiat adalah domisili pada waktu ia membuat wasiat.
2)   Westlake, Foote, Beale dan Graveson,  menyatkan bahwa domisili si pembuat wasiat adalah domisili dimana ia meninggal dunia.[12]
            Di Indonesia yang menganut sistem kesatuan harta peninggalan, baik benda tetap maupun benda bergerak berdasarkan pada jurisprudensi dan doktrin atau pendapat para para Pakar Hukum Perdata Internasional yakni pewarisan dilakukan berdasarkan pada hukum nasional si pewaris. Apabila hukum nasional pewaris terdiri dari berbagai macam sistem hukum maka merujuk pada pasal 15 sub 1 BW bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana tempat tinggal si pewaris berada.[13]
              Pada dasarnya ada dua prinsip umum hukum kewarisan bila ditinjau dari segi hukum perdata Internasional:
a)   Prinsip Pemisahan Harta Peninggalan.
                Berdasarkan prinsip ini, maka harta peninggalan seseorang pewaris di pisahkan antara benda bergerak dan benda tetap. Benda bergerak diwariskan berdasarkan hukum pribadi si pewaris. Sedangkan benda tetap atau tidak bergerak di wariskan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan Lex Situs, yaitu hukum dari negara dimana benda tetap tersebut terletak. Prinsip ini banyak dianut oleh negara Inggris beserta jajahannya, Amerika Serikat, Rusia dan bebrapa negara lain.

b)   Prinsip Kesatuan Harta Peninggalan
                Prinsip ini menganggapa bahwa harta peninggalan baik benda bergerak maupun benda tetap, merupakan satu kesatuan dan semuanya diwariskan berdasarkan hukum personal si pewaris.[14] Prinsip ini dianut disebagian besar negara-negara yang mengoper Code Civil, seperti Italia, Spanyol, Belanda, Portugal dan Jerman. Pada prinsipnya Indonesia juga menganut prinsip kesatuan harta peninggalan ini, tetapi khusus untuk hukum personal dalam pewarisan Indonesia menganut sistem  nasionalitas yakni berdasarkan atas kaedah hukum perdata internasional yang tidak tertulis, dalam hal ini adalah jurisprudensi dan pendapat para ahli lainnya bukan berdasarkan atass uatu ketentuan hukum perdata Internasional yang tertulis.

2        Asas-Asas Kewarisan dalam Hukum Perdata Ineternasional
                Di dalam HPI berkembang beberapa asas yang dapat digunakan untuk menentukan hukum yang berlaku dalam persoalan pewarisan, diantaranya adalah:
a)      Umumnya diterima asas bahwa dalam hal benda yang menjadi objek pewarisan merupakan benda tetap, maka proses pewarisan atas benda-benda semacam itu harus diatur bedasarkan hukum dari tempat benda terletak atau berada, berdasarkan Lex Rei Sitae atau Lex Situs.
b)      Bila benda-benda yang menjadi objek pewarisan adalah benda-benda bergerak, maka proes pewarisan benda-benda itu dapat ditundukkan pada kaidah-kaidah hukum waris dari tempat si pewaris menjadi warga negara (Les Patriae) atau berkediaman tetap (Lex Domicilii) pada saat ia meninggal dunia.
c)      Hukum dari tempat pewaris berdomisili atau menjadi warga negara pada saat pembuatan testamen
d)     Hukum dari tempat pewaris berdomisili atau menjadi warga negara pada saat ia meninggal dunia.
                Beberapa asas Hukum Perdata Internasional untuk menetukan hukum yang berlaku dalam persolan pewarisan misalnya dalam sistem HPI di Amerika Serikat, secara tradisional persoalan pewarisan benda-benda tetap dan bergerak diatur berdasarkan konsep spirit succesion, sebagai contoh: pewaris meninggal di negara bagian X sebagai tempat ia berdomisili terakhir. Ia memiliki benda-benda bergerak di X dan tanah di Y. Pada masa hidupnya pewaris membuat testamen yang mewariskan, baik benda begerak maupun tanahnya, tetapi belakanan berusaha membatalkannya di pengadilan. Pengadilan menetapkan bahwa pembatalan itu dapat dilaksanakan sesuia hukum X hanya untuk benda-benda bergerak yang ada di X saja, dan karena itu, benda-benda itu dapat diwariskan berdasarkan pewarisan ab intestato. Tetapi karena tindakan pembatalan testame itu belum sah menurut hukum Y, maka tanah harus tetap diwariskan sesuia amanat yang sudah dimuat dalam testamen.


C.     Letak Perbedaan dan Persamaan Kewarisan (Tinjauan Hukum Perdata Internasional dan Hukum Islam)
            Hukum kewarisan Islam atau yang dalam kitab-kitab fikih biasa disebut Faraid adalah hukum kewarisan yang diikuti oleh umat Islam dalam usaha  mereka menyelesaikan pembagian harta peninggalan keluarga yang meninggal dunia. Di bebrapa negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam Faraid telah menjadi hukum positif, meskipun sebagaimana yang berlaku di Indonesia hanya berlaku untuk warga negara yang beragama Islam, belum berlaku secara nasional. Namun, di beberapa negara hukum tersebut telah menjadi hukum nasional seperti yang berlaku di Arab Saudi dan negara-negara Islam lainnya.
            Dalam hukum kewarisan Islam, harta dapat berpindah kepada ahli warisnya jika si pewaris telah meninggal dunia, begitu juga dengan sistem kewarisan dalam hukum perdata Islam Internasional, kewarisan terjadi jika pewaris telah meninggal dunia dengan membuat testamen atau surat wasiat ketika pewaris masih hidup. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan anatara kewarisan dalam perspektif hukum perdata Islam Internasional dengan hukum Islam. Yang menjadi permasalahan justru pada harta warisan itu sendiri. dalam hukum keperdataan Islam Internasional harta dibedakan menjadi harata bergerak dan harta tidak bergerak. Dalam hal ini berbeda dengan konsep Islam bahwa harta kewarisan tidak mengenal benda bergerak dan benda tidak bergerak. Wallahu’alam.

Rujukan ;
Khairandy, Ridwan. dkk, Pengantar Hukum Perdata Indonesia, Yogyakarta:Gama Media, 1999
Lubis, Suhrawardi dkk. Hukum Waris Islam (Lengkap&Praktis). Jakarta: Sinar Grafika.2004
Manasikana, Arina. Waris. Yogyakarta:Pustaka Insan Madani.2007
Parman, Ali. Kewarisan dalam Al-Quran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.1995
Purbacaraka, Purnadi. Sendi-Sendi Hukum Perdata Internasional. Jakarta: Rajawali. 1983
Rofiq, Ahmad. Fiqh Mawaris. Jakarta: Rajad Grafindo Persada.1998
Seto, Bayu. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, Cet. III, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001
Syarifuddin. Amir, Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Prenada Media.2004


[1] Arina Manasikana, Waris, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2007), hlm. 7

[2] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992), hlm. 1
 
[3] Shahih al-Bukhairiy IV, ( Cairo, Daarwa Mathaba’ al-Sya’biy), hlm. 181

[4] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta:Prenada Media, 2004), hlm. 175

[5] Ibid, hlm. 181

[6] Ibid, hlm. 188

[7] Ridwan Khairandy dkk, Pengantar Hukum Perdata Indonesia, (Yogyakarta:Gama Media, 1999), hlm. 138

[8] Bayu Seto, Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, Cet. III, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 190
 
[9] Purnadi Purbacaraka, Sendi-Sendi Hukum Perdata Internasional, (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm.56

[10] Ibid, Bayu Seto…………, hlm. 190
[11] Ibid, hlm. 57

[12] Ibid, hlm. 57

[13] Ibid, hlm. 58

[14] Ibid,  Purnadi Purbacaraka, Sendi-Sendi Hukum…………..,hlm. 55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar