Jumat, 19 November 2010

IHTIYATHUL QIBLAT, SEBUAH GAGASAN

Ihtiyathul qiblat atau bisa juga dibahasakan sebagai simpangan baku arah kiblat, merupakan qiyas (analogi) dari konsepsi ihtiyath dalam waktu shalat. Sehingga ihtiyathul qiblat merupakan suatu langkah pengamanan dalam penentuan arah kiblat dengan cara menambahkan ataupun mengurangkan sudutnya dengan suatu nilai agar arah kiblat setempat tetap menuju ke lokasi qiblat ijtihad hingga ke batas-batasnya.

Dengan demikian ihtiyathul qiblat lebih dikenakan kepada aplikasi qiblat ijtihad, satu dari tiga jenis kiblat berdasarkan klasifikasi Imam Syafi'i RA. Menurut beliau, qiblat ijtihad merupakan kiblat bagi seluruh Umat Islam dimanapun berada asalkan tidak tinggal menetap di lingkungan kota suci Makkah al-Mukarramah, sehingga kiblatnya (dalam melaksanakan shalat maupun peribadahan yang terkait dengannya) adalah tanah haram Makkah. Klasifikasi kiblat juga dipaparkan Fakhrur Razi dalam kitab tafsir al-Mahasin ketika mencoba menafsirkan tiga ayat dalam surat al-Baqarah (yakni ayat 144, 149 dan 150) yang mengandung satu perintah sama: ("...maka palingkanlah wajahmu ke Masjidil Haram...")


Konsepsi ihtiyathul qiblat berangkat dari realitas dua masjid bersejarah di kota suci Madinah al-Munawwarah yang dibangun sendiri oleh tangan Rasulullah SAW, yakni Masjid Quba dan Masjid Nabawi. Sejarah mencatat bahwa Masjid Quba adalah masjid yang pertama kali didirikan oleh Umat Islam, yakni pada saat berlangsungnya peristiwa hijrah Rasulullah SAW yang terjadi pada bulan Rabiul Awwal 0 H atau bulan Oktober 621 M (berdasarkan hadits dari Jabir RA dan Ibnu Abbas RA). Menjelang memasuki Yastrib (yang kemudian diubah namanya menjadi Madinah), Rasulullah SAW bersama Abu Bakar RA singgah di kampung Quba, yang letaknya 4 km dari Yastrib, selama 4 hari. Dalam masa persinggahan itu dibangunlah sebuah masjid di atas tanah lapang bekas tempat menjemur kurma milik Kalsum bin Haddam. Berselang beberapa lama kemudian, ketika Rasulullah SAW sudah tinggal menetap di Madinah, dibangunlah Masjid Nabi atau Masjid Nabawi di pusat kota, yang didirikan di atas tanah milik sepasang anak yatim Sahal dan Suhail bin Amir yang telah dibeli serta tanah milik Abu Ayyub al-Anshari serta tanah bekas kuburan kaum musyrikin yang telah rusak, dimana kedua tanah terakhir diserahkan sebagai wakaf. Baik Masjid Quba maupun Masjid Nabawi memiliki arsitektur serupa, yakni sebagai bangunan persegi panjang dengan tiga pintu (masing-masing pintu barat, timur dan selatan) yang beratapkan daun-daun kurma dengan kiblat menghadap ke utara, yakni ke aah Baitul Maqdis.

Pasca terjadinya peristiwa pemindahan kiblat, berkenaan dengan turunnya surat al-Baqarah ayat 144 ketika Rasulullah SAW beserta sejumlah sahabat sedang melaksanakan shalat Dhuhur berjama'ah di Kampung Bani Salamah di pinggiran Madinah, maka pintu selatan Masjid Quba dan Masjid Nabawi ditutup untuk dijadikan mihrab (tempat imam) seiring dengan berubahnya kiblat menjadi mengarah ke selatan (yakni ke Baitullah). Sebuah riwayat menyebutkan bahwa dalam mengarahkan kedua masjid ini menuju ke kiblat yang baru, Rasulullah SAW dibantu malaikat Jibril.

Analisis trigonometri segitiga bola dengan asumsi Bumi berbentuk bulat sempurna menunjukkan bahwa dengan posisi pada koordinat 24° 28' LU 39° 37' BT, arah ke Baitullah dari lokasi Masjid Nabawi adalah pada azimuth 176° 31' dengan jarak antara dua tempat tersebut adalah 340 km. Citra Masjid Nabawi berdasarkan software Google Earth menunjukkan bahwa bangunan masjid sebelum renovasi besar-besaran di masa pemerintahan Saudi Arabia merupakan bangunan persegi non simetris, dimana dinding sebelah timur (yakni dinding makam Rasulullah SAW) tidak sejajar dengan dinding sebelah barat. Namun dinding sebelah utara dan dinding sebelah selatan relatif sejajar hingga batas ketelitian 0,55° sehingga kita bisa mengatakan bahwa garis-garis shaff Masjid Nabawi adalah sejajar dan mengarah ke azimuth 179° 52' atau berselisih 3° 38' dengan azimuth ke Baitullah.

Citra Masjid Quba menurut Google Earth. Garis putih sisi kiri merupakan azimuth bangunan masjid sementara garis putih sisi kanan merupakan garis penghubung antara Masjid Quba dengan baitullah. Nampak bahwa antara kedua garis ini terdapat sudut, yang menunjukkan bahwa Masjid Quba tidak mengarah ke Baitullah.

Konfigurasi segitiga bola antara Masjid Quba, Baitullah dan titik proyeksi Masjid Quba.Lokasi titik proyeksi Masjid Quba, dibandingkan dengan pilar batas tanah haram Makkah. Fakta yang lebih menarik kita dapatkan di Masjid Quba. Analisis trigonometri yang sama dengan posisi Masjid Quba pada koordinat 24° 26' LU 39° 37' BT, arah ke Baitullah adalah pada azimuth 176° 28' dengan jarak antara dua tempat tersebut adalah 336 km. Citra Masjid Quba berdasarkan software Google Earth menunjukkan bangunan masjid tersebut berbentuk persegi panjang simetris dengan arah ke azimuth 184° 06' atau berselisih 7° 38' terhadap azimuth ke Baitullah. Menggunakan persamaan-persamaan segitiga bola (yang tidak memungkinkan untuk dipaparkan di sini) serta dengan konsepsi bahwa arah kiblat adalah jarak minimal antara suatu tempat dengan Baitullah, maka jika kita aplikasikan jarak Masjid Nabawi-Baitullah dalam azimuth yang ditunjuk Masjid Nabawi, kita memperoleh titik proyeksi Masjid Nabawi berada pada koordinat 21° 26' LU 39° 37' BT yang berselisih jarak 21,5 km terhadap Baitullah. Sementara titik proyeksi Masjid Quba berada pada koordinat 21° 26' LU 39° 03' BT yang berada pada jarak 45 km dari Baitullah dan dalam realitasnya lebih dekat ke kota Jeddah dibanding Makkah.

Untuk melihat bagaimana kedudukan kedua titik proyeksi masjid ini, kita harus melihat bagaimana posisi tanah haram Makkah. Tanah haram merupakan istilah bagi kawasan suci yang dijadikan Allah SWT sebagai tempat kembali (matsabah), tempat bertemunya umat manusia dan tempat yang aman. Makkah dideklarasikan sebagai tanah haram pada masa Nabi Ibrahim AS usai renovasi Ka'bah, dengan batas-batas ditunjukkan malaikat Jibril dan ditandai tumpukan batu. Pasca penaklukan Makkah secara damai (Fathu Makkah), Rasulullah SAW mengutus Tamim bin As'ad al-Khaza'i untuk memperbaharui tanda-tanda yang dibangun Nabi Ibrahim AS. Secara keseluruhan tanah haram Makkah mempunyai luas 550 km persegi dengan sisi sepanjang 127 km yang ditandai dengan 943 buah tanda. Pada masa kini beberapa tanda tersebut diperbaharui pemerintah Saudi Arabia, khususnya yang berlokasi di tepi jalan-jalan masuk ke Makkah, dalam bentuk sepasang pilar khas. Software Google Earth mampu mengidentifikasi pilar-pilar batas tanah haram tersebut, yang berlokasi di 10 tempat sebagaimana dipaparkan berikut:


Titik proyeksi Masjid Nabawi ternyata berdekatan dengan pilar batas Hudaibiyah. Namun titik proyeksi Masjid Quba tidak berdekatan dengan pilar batas manapun. Terhadap pilar batas Hudaibiyah, yang berada searah dengan titik proyeksi Masjid Quba jika dilihat dari Baitullah, ternyata titik proyeksi Masjid Quba tersebut masih berjarak 29 km.
Masjid Quba adalah masjid yang dibangun sendiri oleh Rasulullah SAW dan arah kiblatnya pun dibetulkan sendiri oleh Rasulullah SAW pasca peristiwa pemindahan kiblat. Segala perkataan dan perbuatan dari Rasulullah SAW merupakan hadits dan tergolong salah satu sumber hukum Islam. Sehingga kondisi Masjid Quba yang tidak mengarah ke Baitullah tidak dapat dipersalahkan, justru sebaliknya menunjukkan batas kiblat dari perspektif kota Madinah. Mengingat kota Madinah berada jauh di luar tanah haram Makkah, maka kiblat untuk penduduk Madinah tergolong ke dalam qiblat ijtihad sehingga titik proyeksi Masjid Quba menunjukkan batas qiblat ijtihad.

Definisi baru tentang qiblat ijtihad, yang digambarkan sebagai sebuah lingkaran putih dengan pusat di Baitullah dan tepi lingkaran merupakan himpunan titik-titik koordinat berjarak 45 km dari Baitullah. Nampak seluruh pilar batas tanah haram Makkah tercakup dalam lingkaran ini.

Dengan demikian kita bisa meredefinisi qiblat ijtihad sebagai sebuah wilayah berbentuk lingkaran dengan pusat lingkaran berada di Baitullah dan tepi lingkaran merupakan himpunan titik-titik koordinat yang berjarak 45 km dari Baitullah. Dari definisi baru ini bisa dirumuskan pengertian ihtiyathul qiblat, yakni sebagai sudut yang dibentuk antara garis azimuth menuju ke Baitullah dengan garis azimuth yang bersinggungan dengan tepi lingkaran qiblat ijtihad. Dari kota Madinah, ihtiyathul qiblat berharga +/- 7° 38' sehingga azimuth kiblat Madinah bisa ditulis ulang sebagai 176° 31' +/- 7° 38'. Maka dari itu azimuth kiblat Madinah berharga mulai dari 168° 53' hingga 184° 09'. Sementara untuk tempat yang lebih jauh lagi seperti Indonesia, nilai ihtiyathul qiblat-nya turut mengecil. Sebagai contoh, untuk kota Malang (7° 59' LS 112° 38' BT), nilai azimuth kiblat bdan ihtiyathul qiblat-nya adalah 294° 13' +/- 0° 24' sehingga azimuth kiblat di Malang berharga mulai dari 293° 48' hingga 294° 38'.

Konsep ihtiyathul qiblat bertujuan untuk : pertama, mengompensasi idealisasi bentuk Bumi. Perhitungan-perhitungan arah kiblat umumnya diselenggarakan dengan mengambil asumsi Bumi berbentuk bola sempurna, sementara dalam realitasnya Bumi berbentuk bulat pepat (geoida). Sebagai konsekuensi dari idealisasi tersebut, maka nilai riil azimuth kiblat suatu tempat sebenarnya lebih kecil dibanding nilai hasil perhitungan tersebut, meski perbedaannya hanya beberapa menit busur (tidak sampai 1°). Ihtiyathul qiblat bermanfaat untuk mengeliminasi perbedaan tersebut, mengingat perhitungan memakai konsep Bumi sebagai geoida merupakan perhitungan yang jauh lebih rumit.
Yang kedua, guna menyederhanakan hasil perhitungan untuk keperluan-keperluan sangat praktis. Sebagai contoh, dengan nilai azimuth kiblat kota Malang seperti dalam contoh di atas, maka penyederhanaan menjadi ke dalam azimuth 294° saja masih bisa diterima.

Yang ketiga, seperti halnya konsepsi ihtiyath waktu shalat, ihtiyathul qiblat bermanfaat untuk mempermudah pelaksanaan pengukuran arah kiblat di satu wilayah administratif tertentu seperti kabupaten/kota/propinsi yang luasnya sempit sehingga arah kiblat di semua tempat dalam wilayah tersebut cukup mendasarkan pada arah kiblat di satu titik referensi dalam wilayah tersebut. Hal ini terutama untuk mengantisipasi keterbatasan suberdaya (baik alat maupun manusia) di tempat tersebut.

Yang keempat, ihtiyathul qiblat bermanfaat untuk mengompensasi gerak semu tahunan Matahari khususnya pada peristiwa istiwa' adham atau Matahari persis di atas kiblat. Selama ini perhitungan-perhitungan arah kiblat memperlakukan Matahari sebagai sumber cahaya berbentuk titik (point-source), sementara dalam realitasnya Matahari adalah sumber cahaya berbentuk cakram dengan diameter nampak (apparent diameter) 0,5°. Dalam peristiwa istiwa' adham bulan Juli ini misalnya, berdasarkan konsepsi ihtiyathul qiblat maka Matahari sudah berada di atas lingkaran qiblat ijtihad sejak tanggal 13 Juli 2010 hingga 18 Juli 2010 pada pukul 12:16 waktu Makkah, atau pukul 16:26 WIB.

Yang kelima, dengan ihtiyathul qiblat bisa dibuktikan bahwa gerak lempeng tektonik maupun aktivitas ekstrimnya dalam bentuk gempa bumi tidak mengubah arah kiblat suatu tempat. Sebagai contoh, gempa terdahsyat dalam sejarah Indonesia adalah gempa Aceh, yang secara teknis lebih dikenal sebagai gempa megathrust Sumatra-Andaman 26 Desember 2004 (magnitude 9,15 Mw). Kalkulasi geodesi yang dibuktikan juga dengan pengukuran-pengukuran amat teliti berbasis GPS (misalnya dari Jose Borrero dkk, Synolakis dkk, Danny Hilman Natawidjaja dkk, Cecep Subarya dkk) memperlihatkan bahwa gempa tersebut menghasilkan pergeseran segmen permukaan Bumi di Kepulauan Andaman Nicobar dan Simeulue sejauh 20 m ke barat daya dari posisinya semula. Namun perhitungan menunjukkan bahwa pergeseran sebesar 20 m ini hanya menghasilkan perubahan sudut sebesar 0,374" untuk sebuah titik di Pulau Simeulue (dipilih pada koordinat 2° 34’ 55,77" LU 95° 57’ 42,85" BT). Sementara pada titik tersebut nilai ihtiyathul qiblat-nya adalah 0° 24' atau sama dengan 1500". Dengan demikian perubahan sudut akibat gempa tersebut jauh lebih kecil dibanding nilai ihtiyathul qiblatnya sehingga bisa diabaikan.
Disarikan dari makalah dalam Pelatihan Peningkatan Hisab Rukyat Kementerian Agama RI 2 Juli 2010 dan Workshop Ilmu Falak di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang 6 Juli 2010.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar