Rabu, 26 Januari 2011

PENGARUH PERNIKAHAN DINI TERHADAP PENDIDIKAN USIA SEKOLAH DI KOTA TANJUNG KARANG BANDAR LAMPUNG TAHUN 2010

 BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Berdasarkan hasil sensus penduduk pada waktu pemilihan walikota yang dilaksanakan pada tanggal 3 Januari 2009, jumlah penduduk kota Tanjung Karang Bandar Lampung sebesar 6.325 jiwa. Dengan rincian 2.793 jiwa berjenis kelamin iaki-laki, dan 3.532 jiwa berjenis kelamin perempuan. Sedangkan penduduk yang mempunyai hak pilih suara sebesar 4.301 jiwa. dengan rincian 2.032 jiwa berjenis kelamin laki-laki, dan 2.269 jiwa berjenis kelamin perempuan. Adapun persyaratan berhak memilih yaitu berumur 17 tahun atau sudah menikah, sedangkan 10% dari pemilih, berumur dibawah 17 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa 10% dari pemilih menikah pada usia dibawah 17 tahun. Dengan kata lain, mereka melakukan nikah dibawah umur (nikah dini).[1]
Adapun berdasarkan versi Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, batas usia minimal seseorang diperbolehkan melakukan perkawinan adalah, apabila laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun dan perempuan sudah mencapai umur 16 tahun. Posisi peneliti di sini lebih setuju kepada batasan usia minimal nikah sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut.
Di kota Tanjung Karang Bandar Lampung, pernikahan di usia dini sudah tidak dipermasalahkan lagi. Banyak remaja di kota tersebut yang sudah melakukan pernikahan di usia dini. Semestinya remaja-remaja itu harus berfikir dua kali sebelum mengambil keputusan untuk menikah di usia dini. Pada umumnya remaja yang menikah di usia dini, pasti tidak dapat menikmati bangku pendidikan dan masa-masa remja yang seharusnya dinikmati oleh mereka. Kebanyakan remaja yang melakukan pernikahan dini adalah remaja-remaja yang masih duduk di bangku sekolah yang sudah mencoba hubungan badan layaknya suami isteri di luar pernikahan yang akhirnya hamil. Sehingga mereka memutuskan untuk menikah dan berhenti sekolah pada usia yang seharusnya diwajibkan untuk mengenyam pendidikan di bangku sekolahnya masing-masing. Berdasarkan permasalahan di atas, maka saya membuat laporan penelitian yang berhubungan dengan Pengaruh Pernikahan Dini Terhadap Pendidikan Usia Sekolah Di Kota Tanjung Karang Bandar Lampung Tahun 2010.

B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.         Faktor apa yang melatarbelakangi maraknya pernikahan dini.
2.         Sejauhmana Pengaruh Pernikahan Dini Terhadap Pendidikan Usia Sekolah di Kota Tanjung Karang Bandar Lampung.

C.   Tujuan Penelitian
1.    Tujuan Umum:
a.    Untuk mengetahui Pengaruh dan faktor Pernikahan Dini.
b.    Untuk mengetahui Pendidikan Usia Sekolah di Kota Tanjung Karang Bandar Lampung Tahun 2010.

2.    Tujuan Khusus:
a.    Ingin mengetahui sejauh mana Pengaruh Pernikahan Dini Terhadap Pendidikan Usia Sekolah di Kota Tanjung Karang Bandar Lampung Tahun 2010.

D.   Manfaat Penelitian
Laporan ini saya buat supaya bermanfaat bagi saya dan para pembaca serta dapat menghindari perbuatan atau perilaku yang tidak diinginkan sepeti pernikahan dini.


BAB II
LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

A.   Landasan Teori
Dalam landasan teori akan dijelaskan secara berurutan tentang pengertian-pengertian yang nantinya menjadi variabel-veriabel dalam penelitian ini yaitu:
1.    Pernikahan Dini
a.    Pengertian Pernikahan Dini
Dalam Kamus Besar Bahasa Indoneisa, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.[2] Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah (نكاح) yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh. Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.[3]
Banyak definisi nikah yang dikemukakakn oleh para ulama, namun pada hakikatnya, semuanya mempunyai persamaan arti dan tujuan, yaitu untuk menghalalkannya hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Adapun definisi nikah menurut hukum islam salah satunya diungkapkan oleh Wahbah az-Zuhaily yaitu:
الزواج شرعا هو عقد وضعه الشارع ليفيد ملك استمتاع الرجل بالمرأة وحل استمتاع
المرأة باالرجل
Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenag-senangnya perempuan dengan laki-laki.[4]
Melakukan pernikahan tanpa kesiapan dan pertimbangan yang matang dari satu sisi dapat mengindikasikan sikap tidak affresiatif terhadap makna nikah dan bahkan lebih jauh bisa merupakan pelecehan terhadap kesakralan sebuah pernikahan. Atas dasar itu, suatu pernikahan boleh dilakukan apabila keduanya baik laki-laki maupun perempuan sudah dianggap mampu dan siap baik dari segi fisik maupun psikis. Maka, ada batasan umur minimal dalam perkawinan.
Undang-undang Perkawinan memberikan batas minimal usia perkawinan. Dalam bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa  perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun.[5] Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental.
Pernikahan yang ideal, untuk perempuan adalah 21-25 tahun sementara laki-laki 25-28 tahun. Karena di usia itu organ reproduksi perempuan secara psikologis sudah berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan secara fisik pun mulai matang. Sementara laki-laki pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat, hingga mampu menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik sera psikis emosional, ekonomi dan sosial.
Apabila pernikahan yang dilakukan pada saat dimana umur dari salah satu atau kedua mempelai masih dibawah umur, maka yang demikian disebut dengan Nikah dini. Adapun patokan umur seseorang dikatakan menikah dini berbeda-beda. Ada yang mengatakan di bawah umur 21 tahun dan adapula yang mengatakan di bawah 17 tahun namun untuk menyamakan persepsi pada penelitian ini, maka nikah dini disini kami artikan sebagai pernikahan yang dilakukan oleh seseorang ketika orang tersebut masih dalam usia pendidikan, yaitu mereka yang sedang mengenyam pendidikan di bangku SMP-SMA atau sekitar dibawah umur 16 tahun bagi perempuan dan dibawah umur 19 tahun bagi laki-laki.

b.        Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pernikahan Dini
Menurut para ahli, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya perkawinan dini yaitu:
1.      Faktor Ekonomi
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.
2.      Faktor Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih dibawah umur.
3.      Faktor orang tua
Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya.
4.      Faktor Media Massa
Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian Permisif terhadap seks.
5.      Faktor Adat
Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan.

c.       Dampak-Dampak Pernikahan Dini
Berbagai dampak pernikahan dini dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.    Dampak Biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.

2.    Dampak Psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.

3.    Dampak Sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.

4.    Dampak perilaku seksual menyimpang
Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun dikemas dengan perkawinan seakan-akan menjadi legal. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya pasal 81, ancamannya pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta rupiah.
2.    PENDIDIKAN USIA SEKOLAH
a.        Pengaertian Pendidikan Usia Sekolah
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Pendidikan biasanya berawal pada saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Namun, pendidikan juga bisa berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia akan bisa (mengajar) bayi mereka sebelum kelahiran.
Dalam penelitian ini kami batasi bagi usia sekolah. Artinya objek penelitian ini adalah mereka yang sedang mengenyam pendidikan dibangku sekolah mulai dari SMP-SMA. Dan bertempat di Pendidikan formal yaitu pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah. Karena jalur pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pendidikan tinggi.
Saat ini masih terdapat perbedaan dalam penentuan usia anak. Menurut UU no 20 tahun 2002 tentang Perlindungan anak dan WHO yang dikatakan masuk usia anak adalah sebelum usia 18 tahun dan yang belum menikah. American Academic of Pediatric tahun 1998 memberikan rekomendasi yang lain tentang batasan usia anak yaitu mulai dari fetus (janin) hingga usia 21 tahun. Batas usia anak tersebut ditentukan berdasarkan pertumbuhan fisik dan psikososial, perkembangan anak, dan karakteristik kesehatannya. Usia anak sekolah dibagi dalam usia prasekolah, usia sekolah, remaja, awal usia dewasa hingga mencapai tahap proses perkembangan sudah lengkap.
b.        Fase Perkembangan Anak Pada Usia Sekolah
Dalam buku Formulasi Filsafat Pendidikan Islam, yang diterbitkan atas kerja sama Pustaka Pelajar dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang menjelaskan fase perkembangan anak usia sekolah, yaitu:
1.      Intuitive-projective faith, (anak umur 3-7 tahun)
Fase penuh fantasi dan peniruan; anak mudah terpengaruh oleh contoh-contoh tentang sikap mental, perbuatan dan cerita tentang keimanan dari orang dewasa yang dekat dengan mereka.
2.      Mythic-literal faith, (umur 7-10/11 tahun)
Sudah dapat mengambil faedah dari cerita dan contoh yang sesuai dengan kehidupannya, meskipun masih secara harfiyah.
3.      Synthetic-conventional faith, (umur 11/12-17/18)
Peluasan pengalaman yang mulai keluar dari lingkungan keluarga, perlu orientasi yang jelas tentang keimanan, kaitannya dengan norma dan informasi yang semakin kompleks, sebagai basis bagi penemuan identitas dan pandangan hidupnya.
4.      Individuative-reclective faith, (umur 18-30 tahun)
Ditandai oleh perkembangan ganda, yaitu self dalam rangka pemantapan identitas world view, kesadaran diri dalam ruang kehidupan. Timbul untuk mengartikan simbol-simbol ke dalam makna konseptual, atau tahap demitologisasi.[6]
Usia sekolah mulai SMP-SMA sudah menginjak pada masa remaja. Tidak ada definisi serta batasan usia yang baku untuk kelompok usia yang biasa disebut remaja. Namun secara umum, remaja biasanya dianggap sebagai kelompok usia peralihan antara anak-anak dan dewasa, kurang lebih antara usia 12 dan 20 tahun.[7]
Hilgard menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga aspek penting yang menandai masa remaja: 1)Terjadinya perubahan fisik (berkembangnya hormon dan organ-organ seksual), 2)Adanya pencarian dan pemantapan identitas diri, dan 3)Adanya persiapan menghadapi tugas dan tanggung jawab sebagai manusia yang mandiri.[8]
Fase usia remaja sering dianggap sebagai fase yang sangat tidak stabil dalam tahap perkembangan manusia. G.S. Hall menyebutnya sebagai strum und drang masa topan badai[9]  sementara James E. Gardner menyebutnya sebagai masa turbulence (masa penuh gejolak). Penilaian ini tentu berangkat dari realitas psikologis dan sosial remaja.
Masa usia remaja identik dengan krisis, sifat labil, serta terjadinya gejolak psikologis dan sosial yang bersifat destruktif. Dengan kata lain, kelabilan dan gejolak (turbulence) lekat dengan fase usia remaja yang merupakan peralihan antara anak-anak dan dewasa. Pendidikan remaja seharusnya mampu memberikan solusi terbaik dalam meredam keadaan labil dan penuh gejolak tadi, serta memberikan pemecahan bagi mereka untuk keluar dari lingkaran krisis yang mereka alami.

B.      Kerangka Berfikir
Pernikahan Dini merupakan suatu pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Keduanya masih berusia dibawah maksimal usia pernikahan yang dianjurkan oleh pemerintah melalui Undang-Undang Pernikahan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.
Siswa-siswai pada masa menjalani pendidikan usia sekolah yang dimulai dari SMP-SMA sudah menginjak pada masa remaja. Tidak ada definisi serta batasan usia yang baku untuk kelompok usia yang biasa disebut remaja. Namun secara umum, remaja biasanya dianggap sebagai kelompok usia peralihan antara anak-anak dan dewasa, kurang lebih antara usia 12 dan 20 tahun.
Masa remaja adalah masa peralihan mencari jati diri, pada waktu tersebut, pendidikan di usia sekolah merupakan hal yang sangat penting untuk menuntun remaja ke jalan kebaikan, tidak melakukan pernikahan di usia produktif untuk berfikir dan melanggar norma-norma agama.
Pernikahan dini banyak membawa efek negatif dari pada positifnya, karena keduanya atau salah satunya diantara mereka belum siap menata kehidupan setelah melakukan pernikahan dini, secara kesehatanpun akan teranacam keturunannya apabila menikah pada batas usia yang sewajarnya.
Dengan demikian dapat diduga terdapat pengaruh yang negatif antara pernikahan dini terhadap pendidikan usia sekolah. Berdasarkan uraian di atas, secara teoritis ada pengaruh pernikahan dini terhadap pendidikan usia sekolah. Keterkaitan tersebut dapat digambarkan dalam bentuk paradigma sebagai berikut:


X = Pernikahan Dini
Y = Pendidikan Usia Sekolah

C.      Hipotesis
Hipotesis dapat dirumuskan sebagai dugaan sementara dari masalah-masalah penelitian dan dibuktikan melalui penelitian, apakah dugaan itu benar atau salah. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan hipotesis alternatif (Ha) yang berbunyi: “terdapat pengaruh yang signifikan pernikahan dini terhadap pendidikan usia sekolah di kota Tanjung Karang Bandar Lampung Tahun 2010.


BAB III
METODE PENELITIAN

A.   Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang bersifat korelasional dan kuantitatif. Penelitian lapangan merupakan suatu penelitian untuk memperoleh data-data yang sebenarnya terjadi di lapangan. Penelitian korelasi adalah suatu penelitian yang bertujuan menyelidiki sejauh mana variasi pada suatu variabel  berkaitan dengan variasi variabel lain.[10]
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian in adalah metode deskrif invarensial. Metode deskriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan objek penelitian (sesorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) berdasarkan fakta yang tampak atau sebagi mana adanya.[11]

B.   Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2010. Waktu penelitian selama 3 bulan yaitu dari tanggal 1 Januari sampai 29 Maret 2010. Sedangkan yang menjadi tempat penelitian adalah Kota Tanjung Karang Bandar Lampung. Alasan mengenai pemilihan tempat ini berdasarkan pertimbangan finansial dan waktu, serta kemudahan dalam menjangkau lokasinya.

C.   Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah semua anggota kelompok atau objek penelitian yang telah dirumuskan secara jelas.[12] Populasi juga diartikan sebagai keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes, atau pristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu  diadakan suatu penelitian.[13]
Berdasarkan pengertian di atas, maka yang dimaksud populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat kota Tanjung Karang Bandar Lampung. Karena jumlah populasi dalam penelitian ini lebih dari 100 maka penelitian ini menggunakan sampel.
Apblila subjeknya kurang dari 100 lebih baik diambil semua, sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subjeknya, besar dapat diambil antara 10-15% atau 20-25 % atu lebih, maka dengan ini peneliti mengambil sampel sebesar 30%, jadi dapat disimpulkan bahwa jumlah sampel yang peneliti ambil dalam penelitian ini adalah 30/100 x 116 = 34,8 (35) jumlah sampel yang diambil adalah 35 remaja perempuan dan 35 remaja laki-laki di kota Tanjung Karang Bandar lampung.
Adapun cara pengambilan samel yang dilakukan oleh peneliti adalah secara sistematika random sampling (acak). Adapun langkah yang peneliti lakukan adalah dengan cara menjumlahkan kelipatan 3 dengan ketetapan 30%  jumlah sampel, apabila sudah tercapai 30% maka pengambilan sampel tersebut dihentikan.

D.   Variabel Penelitian
Variabel Penelitian adalah suatu konsep atau teori konstruk atau batasan yang dipilih dan dibuat serta digunakan dengan sengaja dengan kesadaran penuh dengan maksud ilmiah khusus yang diteliti.[14]
Penelitian ini memiliki dua variabel. Variabel tersebut terdiri atas satu variabel bebas dan satu variabel terikat. Kedua variabel tersebut adalah:
1.      Variabel bebas (indevenden variable) yang terdiri atas variabel pernikahan dini (X)
2.      Variabel terikat (dependet variable) yaitu pendidikan usia sekolah. Variabel terikat ini merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas.
Hubungan langsung dan tidak langsung antara variabel bebas dan terikat tercermin dalam koefisien jalur (path cofficients, p) yaitu koefisien regresi yang telah dibakukan. Untuk mengindikasikan akibat langsung (direct effect) dari suatu variabel yang dihipotesiskan sebagai penyebab terhadap variabel yang dianggap sebagai akibat. Adapun model paradigma analisis dalam penelitian ini dapat divisualisasikan pada gambar berikut:


   X          = Pernikahan Dini
   Y          = Pendidikan Usia Sekolah
è    = hubungan pengaruh
Dari gambar tersebut menunjukkan, bahwa: 1) pengaruh variabel pernikahan dini (X) terhadap pendidikan usia sekolah (Y) di kota Tanjung Karang Bandar lampung Tahun 2010

E.    Definisi Operasional
Definisi operasional dalam penelitian ini dimaksud untuk menghindari dari kesalahan pemahaman dalam menginterpretasikan suatu variabel secara spesifik agar variabel penelitian tersebut dapat diukur dengan alat ukur yang tepat.
Berikut ini peneliti akan mendefinisikan secara operasional dari variabel-variabel di atas sebagai berikut:
1.      Pernikahan Dini
Pernikahan yang dilakukan pada saat dimana umur dari salah satu atau kedua mempelai masih dibawah umur yang ditentukan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka yang demikian disebut dengan Nikah dini.
2.      Pendidikan Usia Sekolah
Pendidikan Usia sekolah dalam penelitian ini difokuskan hanya mereka yang sedang duduk di bangku sekolah mulai jenjang pendidikan SMP-SMA sudah menginjak pada masa remaja. Tidak ada definisi serta batasan usia yang baku untuk kelompok usia yang biasa disebut remaja. Namun secara umum, remaja biasanya dianggap sebagai kelompok usia peralihan antara anak-anak dan dewasa, kurang lebih antara usia 12 dan 20 tahun.

F.    Teknik Pengumpulan Data
Dalam suatu penelitian, di samping harus menggunakan metode yang tepat, diperlukan pula teknik serta alat pendukung data yang tepat untuk mendapatkan hasil penelitian yang objektif.
Teknik dan alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah cara yang digunakan untuk pengumpulan data atau bahan yang berguna dalam membahas masalah penelitian. Dengan terpilihnya teknik dan alat pengumpulan data yang baik dan benar memungkinkan tepatnya langkah untuk menjawab masalah penelitian.
Untuk keperluan analisis data, maka peneliti memerlukan  sejumlah data pendukung yang berasal dari masyarakat yang tidak berdomisili di tempat yang dilakukan penelitian. Karena itu peneliti menggunakan teknik pengumpulan data, yaitu angket (komunikasi tidak langsung, dan observasi (pengamatan langsung).
Teknik komunikasi tidak langsung adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengumpulakan data dengan cara mengumpulkan data melaui perantara atau alat. Alasan menggunakan teknik ini dengan menggunkan alat pengumpulan data berupa angket dianggap lebih praktis dan efisien, tingkat keakuratannya tidak kalah dengan teknik dan alat pengumpulan data yang lain.
Angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket berstruktur yang disusun dengan jawaban yang telah disediakan sebanyak 4 alternatif jawaban (A,B,C,D). Angket sebagai alat pengumpul data utama dalam pelaksanaannya akan diberikan kepada remaja putra-putri yang menjadi sampel dalam penelitian ini.
Sementara, observasi digunakan untuk mengamati lingkungan masyarakat kota Tanjung Karang Bandar Lampung. Semua data yang terkumpul akan diolah secara manual dan menggunakan komputer melalui program SPSS. 15.0.


DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007
Dep. Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, cet.ke-III, 1994.

Undang-Undang Pernikahan No. 1 tahun 1947.
Ernest R. Hilgard, Rita L. Atkinson, & Richard C. Atkinson, Introduction to Psychology, New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1979.

Hadri Nawawi, Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University, 2001.

Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2001.

Sensus Penduduk tahun 2010 Sewaktu Pemilihan di Desa Gunung Besi.
Thoha, Chabib, Formulasi Filsafat Pendidikan Islam, diterbitkan atas kerja sama Pustaka Pelajar dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1996.

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Beirut: Dar al-Fikr, cet. ke-III, 1989.









[1]  Sensus Penduduk tahun 2009 Sewaktu Pemilihan di Kota Tanjung Karang Bandar Lampung.
[2] Dep. Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, cet.ke-3, hlm. 456.
[3] Secara arti kata nikah berarti “bergabung” (ضم), “hubungan kelamin” (وطء) dan juga berarti “akad” (عقد). Lihat, Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007, hlm. 36. Bandingkan dengan Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 7.
[4] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1989, cet. ke-III, hlm. 29.
[5] Lihat Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1947.
[6] Formulasi Filsafat Pendidikan Islam, diterbitkan atas kerja sama Pustaka Pelajar dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1996, hlm. 314-315.
[7] Batasan usia ini sangat relatif. Pubertas atau baligh mungkin bisa dianggap sebagai batas awal usia remaja. Adapun batas akhirnya bisa ditinjau dari beberapa segi. Secara psikologis, seorang remaja dikatakan sudah dewasa bila ia memiliki tingkat kematangan yang sama dengan orang dewasa. Sementara secara hukum, batas usia kedewasaan seseorang berbeda-beda menurut hukum yang berlaku di sebuah negara, biasanya antara 17 dan 21 tahun.
[8]  Lihat Ernest R. Hilgard, Rita L. Atkinson, & Richard C. Atkinson, 1979, Introduction to Psychology, New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., hlm. 88.
[9] Sarlito Wirawan Sarwono, 2001, Psikologi Remaja, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, hlm. 23.
[10] Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 8.
[11] Hadri Nawawi, Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University, hlm. 2001, hlm, 63
[12] Harun Rasyid, Metodologi Penelitian Kuantitatif Bidang Ilmu Sosial dan Agama, Pontianak: FKIP UNTAN, 1999, hlm. 81.
[13] Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005, Hlm. 118
[14] Ibid., Harun Rasyid, hlm. 54-55