Selasa, 30 November 2010

Metode Tafsir Modern; Tafsir al-Manar, al-Maraghi, al-Misbah


Dipresentasikan Dalam Mata Kuliah; Studi Qur'an dan Hadits
Dosen Pengampu: Dr. Zuhad, MA
I. Pendahuluan
Pada garis besarnya, penafsiran al-Qur’an itu dilakukan melalui empat metode, yaitu: metode Ijmali (global), Tahlili (analitis), Muqarin (perbandingan), dan Maudhu’i (tematik). Lahirnya metode-metode tafsir tersebut merupakan implementasi dan respon atas tuntutan perkembangan zaman yang selalu dinamis. Pada umumnya orang yang hidup pada masa Nabi Saw dan sahabat, adalah ahli dalam bahasa arab dan mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat (Asbab al-Nuzul), serta mengalami langsung situasi dan kondisi umat ketika ayat al-Qur’an turun. Dengan demikian, mereka relatif dapat memahami ayat-ayat al-Qur’an secara benar, tepat, dan akurat.
Pada periode berikutnya, umat Islam semakin majemuk, terutama setelah tersebarnya Islam di luar tanah Arab. Kondisi ini membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan ilmu tafsir. Akibatnya, para pakar tafsir ikut mengantisipasinya dengan menyajikan penafsiran ayat al-Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kehidupan umat yang semakin beragam, dari sinilah lahir istilah tafsir modern.[1]
Salah satu yang mendorong lahirnya tafsir modern adalah semakin melebar, meluas, dan mendalamnya perkembangan aneka ilmu, dan semakin kompleksnya persoalan yang memerlukan bimbingan al-Qur’an. Disisi lain, kesibukan dan kesempatan waktu yang tersedia bagi peminat tuntuan itu semakin menuntut gerak cepat untuk meraih informasi dan bimbingan.
Untuk menanggulangi permasalahan tersebut di atas, ulama tafsir pada abad modern menawarkan tafsir al-Qur’an dengan metode baru, yang disebut dengan metode Maudhu’i (tematik).[2] Dalam makalah ini akan mengkaji tiga metode tafsir modern yakni Tafsir al-Maraghi, al-Manar, dan al-Misbah. Dari ketiga metode tafsir modern tersebut akan dipaparkan dari segi metodologinya.


II.  Metode Tafsir Modern; Tafsir al-Manar
a.   Sketsa Biografi
Muhammad Rasyid Ridha memiliki nama lengkap Sayyid Muhammad Rasyid Ridha ibn ‘Ali Rida ibn Muhammad Syamsuddin ibn al-Sayyid Baha’uddin ibn al-Sayyid Manlan ‘Ali Khalifah al-Bagdadi.[3] Ia dilahirkan pada hari rabu, tanggal 27 Jumadi al-Ula 1282 H atau 18 Oktober 1865 M di Qalamun, sebuah desa yang terletak di pantau Laut Tengah, sekitar tiga mil jauhnya di sebelah selatan kota Tripoli, Libanon.[4] Ayah dan ibunya berasal dari keturunan al-Husayn, putera Ali ibn Abi al-Thalib dengan Fatimah, puteri Rasulallah Saw. Itulah sebabnya ia menyandang gelar al-Sayyid di depan namanya.
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan ditengah-tengah masyarakat yang akrab dengan gerakan-gerakan tarekat. Kondisi masyarakat yang semacam ini membuatnya turut menyesuaikan diri, dimana ia sempat menjadi anggota tarikat Naqsyabandiyah meskipun ia akhirnya keluar, karena menurutnya praktik-praktik tarekat tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam yang benar. Pengalaman ini yang mengilhami gerakan reformasi yang dilakukannya untuk memperbaiki kondisi umat Islam dari pengaruh negatif tasawuf dan membersihkan Islam dari berbagai praktik yang menyimpang.
Dalam aspek pendidikan, disamping belajar kepada orang tuanya, ia juga belajar dari banyak guru. Pada masa kecilnya ia belajar di suatu taman kanak-kanak yang bernama al-Kuttab, kemudian ia menempuh pendidikan pada sekolah formal yang didirikan oleh Syaikh Husain al-Jisr pada tahun 1314 H / 1897 M. Selain kepada Syaikh Husain al-Jisr Ridha juga belajar kepada guru-guru lain, seperti Syaikh ‘Abd al-Gani al-Rafi’, al-Ustadz Muhammad Husaini dan Syaikh Muhammad Kamil al-Rafi.[5]
Disamping tafsir al-Manar Muhammad Rasyid Ridha berhasil menulis banyak karya ilmiah. Beberapa karyanya yang patut dicatat antara lain: Al-Hikmah Asy-Syar’iyyah fi Muhakamati Al-Qadariyyah wa ar-Rifa’iyyah (buku ini adalah awal kitab yang disusunnya ketika beliau masih pelajar di Tripoli negeri Syam), Tarikh al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh (terdiri 3 jilid), Nida al-Jins al-Latif (Huqûq an-Nisâ fi al-Islâm), Al-Wahyu al-Muhammady, Al-Manâr wa al-Azhar, Dzikrâ al-Maulid an-Nabawy, Al-Wihdatu al-Islâmiyyah, Yusru al-Islâm wa ushûl al-Tasyri’ al-Âm, Al-Khilafatu au al-Imamah al ‘Udma, Al-Wahabiyyun wa al-Hijaz, Haqiqatu ar-Riba, Muswatu ar-Rajul bi al-Mar’ah, As-Sunnah wa asy-Syi’ah, Manasik al-Haj, Ahkamuhu wa Hukmuhu, Risalah fi Hujjati al-Islam al-Ghazali, Al-Maqshuratu ar-Rasyidiyyah, Syubhatu an-Nashara wa Hujjaju al-Islam, ‘Aqidatu ash-Shulbi wa al-Fida, Al-Muslimun wa al-Qibti wa al-Muktamar al- Mashry, Muhawaratu al-Mushallih wa al-Muqallid.[6]
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mengalami kecalakaan ketika dalam perjalanan pulang setelah mengantarkan pangeran Sa’ud al-Faisal. Ia menderita gegar otak, kemudian wafat pada tanggal 22 Agustus 1935 M.[7]

b.  Metodologi Tafsir al-Manar
Secara global dapat dikemukakan bahwa Muhammad Abduh (guru Muhammad Rasyid Ridha)[8] hidup dalam suatu masyarakat yang tengah disentuh oleh berbagai perkembangan yang ada di Eropa, dimana masyarakatnya sangat kaku, beku dan menutup pintu ijtihad, hal ini muncul karena adanya kecenderungan umat yang merasa cukup dengan produk ulama-ulam terdahulu, sehingga akal mereka beku (jumud), sementara di Eropa sendiri sedang berkembang biak pola kehidupan yang mendewakan akal.[9] Sehingga muncul kelompok yang taqlid (mayoritas jumlahnya) dan kelompok tajdid (minoritas jumlahnya).
Berdasarkan kondisi di atas, Muhammad Abduh bermaksud dalam setiap penuangan pikirannya termasuk dalam kitab tafsirnya berkeinginan untuk selalu mengingatkan sekaligus menyadarkan umat untuk kembali kepada al-Qur’an dan Hadis. Seruan ini pula yang mengajak umat kepada fungsionalisasi akal dalam memahami al-Qur’an.
Dengan demikian suatu hukum ditetapkan berdasarkan suatu kondisi tertentu dan hendaknya kondisi tersebut dijelaskan. Bila kondisi berubah, ketetapan itu juga dapat berubah. Melalui terobosannya itu, Abduh berusaha mencapai tujuannya, yakni menjelaskan hakikat ajaran Islam yang murni, menurut pandangannya, serta menghubungkannya dengan kehidupan masa kini. Beberapa prinsip penafsiran yang menjadikan kerangka metodologi tafsir al-manarnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, penggunaan akal secara luas dalam menafsirkan al-Qur’an. Rasionalitas yang dijunjung tinggi oleh pengarang tafsir ini bertitik tolak dari asumsi bahwa ada masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini, kecuali melalui pembuktian logika, sebagaimana diakuinya pula bahwa ada masalah keagamaan yang sulit dipahami akal, tetapi tidak bertentangan dengan akal.[10]
Kedua, dikalangan ulama tafsir, Abduh dikenal sebagai face maker (peletak dasar) penafsiran yang bercorak Adabi-Ijtima’i (sastra dan budaya kemasyarakatan). Ayat-ayat yang ditafsirkannya selalu dihubungkan dengan keadaan masyarakat dalam usaha mendorong ke arah kemajuan dan pembangunan.[11]
Secara umum sebenarnya metode yang dipakai dalam tafsir al-Manar tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab tafsir yang lain yang menggunakan metode Tahlili[12] dengan menerapkan sistematika tertib Mushafi. Namun karena penekanannya terhadap operasionalisasi petunjuk al-Qur’an dalam kehidupan umat Islam secara nyata, maka tafsir ini bisa dikatakan berbeda dengan tafsir-tafsir sebelumnya. Metode yang dirintis oleh Muhammad Abduh ini selanjutnya dikembangkan oleh murid-muridnya, seperti Rasyid Ridha, al-Maraghi dan Amin Khuli.[13]
Pada dasarnya Muhammad Rasyid Ridha mengikuti metode dan ciri-ciri pokok yang digunakan oleh gurunya, Muhammad Abduh. Persamaannya yaitu:
1. Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi
2. Ayat Al-Qur’an bersifat umum
3. Al-Quran adalah sumber Aqidah dan Hukum
4. Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an
5. Bersikap hati-hati terhadap hadits Nabi saw.
6. Bersikap hati-hati terhadap pendapat sahabat
Adapun aspek yang menarik dari tafsir al-Manar adalah bahwa tafsir tersebut berawal dari ceramah-ceramah di depan publik dan kemudian dirumuskan dalam bentuk tulisan. Dengan model semacam ini tentunya tidak mengherankan apabila muatan yang ada pada tafsir tersebut bersifat komunikatif dan memiliki kaitan yang sangat dekat dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.

c. Ide Pembaharuan dalam Tafsir al-Manar
Salah satu ide pembaruan Rasyid Ridha dalam tafsirnya disebabkan adanya kemunduran umat Islam dalam berbagai aspek dan kehidupan lantaran mereka tidak lagi menganut ajaran Islam yang sebenarnya. Perilaku umat Islam juga sudah banyak yang menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Bid’ah yang merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat sudah banyak masuk ke dalam Islam. Misalnya, anggapan yang menyatakan bahwa dalam Islam terdapat ajaran kekuatan rohani yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang dikehendakinya. Padahal menurut ajaran agama, kebahagiaan dunia dan akhirat hanya dapat diperoleh melalui amal usaha yang sesuai dengan sunatullah.[14]
Sebagai tafsir yang membawa pembaharuan, tafsir al-Manar banyak berbicara tentang sunatullah dan menggugah kesadaran umat terhadapnya. Hal tersebut terlihat dengan jelas ketika menafsirkan ayat-ayat akidah (teologis) khususnya yang berkenaan dengan hubungan antara takdir, kehendak, kekuasaan, dan keadilan Allah dengan kehendak, kebebasan, dan kemampuan manusia. Karena itu, maju-mundurnya suatu bangsa, berkembang-runtuhnya suatu negara, bahagia-sengsaranya seseorang dan kalah menangnya suatu kaum di dalam peperangan menurut teologi yang dikembangkan oleh Rasyid Ridha, tidak tergantung pada nasib, tetapi tergantung pada sejauh mana adanya keserasiannya antara perilaku mereka dengan sunatullah.[15]

III. Metode Tafsir Modern; Tafsir al-Maraghi
a.   Sketsa Biografi
Nama lengkapnya adalah Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi. Lahir pada tahun 1300 H/1883 M di Kota Maraghah, sebuah kota kabupaten di tepi barat sungai Nil sekitar 70 kilometer di sebelah selatan kota Kairo.
Pendidikan dasarnya ia tempuh pada sebuah madrasah di desanya, tempat ia mempelajari al-Qur’an, memperbaiki bacaan, dan menghafal ayat-ayatnya sehingga sebelum menginjak usia 13 tahun, ia sudah menghafal seluruh ayat al-Qur’an. Di samping itu, ia juga mempelajari ilmu tajwid dan dasar-dasar ilmu agama yang lain.
Setelah menamatkan pendidikan dasarnya tahun 1314 H/1897 M, al-Maraghi melanjutkan pendidikannya ke Universitas al-Azhar di Kairo. Ia juga mengikuti kuliah di Universitas Darul ‘Ulum, Kairo dan berhasil menamatkan studinya di kedua Universitas pada tahun yang sama 1909 M.
Di kedua universitas tersebut, al-Maraghi mendapatkan bimbingan langsung dari tokoh-tokoh ternama seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Muhammad Bukhait al-Muthi’, dan Ahmad Rifa’i al-Fayumi. Para tokoh inilah yang menjadi narasumber bagi al-Maraghi sehingga ia tumbuh menjadi sosok intelektual Muslim, yang menguasai hampir seluruh cabang ilmu agama.
Setelah menamatkan pendidikannya di Universitas al-Azhar dan Darul ‘Ulum, ia terjun ke masyarakat, khususnya di bidang pendidikan dan pengajaran. Ia mengabdi sebagai guru di sejumlah madrasah dengan mengajarkan beberapa cabang ilmu yang telah dipelajari dan dikuasainya. Beberapa tahun kemudian, ia diangkat sebagai direktur Madrasah Mu’allimin di Fayum, sebuah kota setingkat kabupaten yang terletak 300 kilometer sebelah barat daya Kota Kairo. Pada tahun 1916, ia diminta menjadi dosen tamu untuk mengajar di Fakultas Filial Universitas al-Azhar di Qurthum, Sudan, selama empat tahun.
Pada tahun 1920, setelah tugasnya di Sudan berakhir, ia kembali ke Mesir dan langsung diangkat sebagai dosen Bahasa Arab, Ilmu Balaghah di Universitas Darul ‘Ulum dan Kebudayaan pada Fakultas Bahasa Arab di Universitas al-Azhar. Pada rentang waktu yang sama, al-Maraghi juga menjadi guru di beberapa madrasah, di antaranya Ma’had Tarbiyah Mu’allimah dan dipercaya memimpin Madrasah Utsman Basya di Kairo. Karena jasanya di salah satu madrasah tersebut, al-Maraghi dianugerahi penghargaan oleh raja Mesir, Faruq, pada tahun 1361 H.
Dalam menjalankan tugas-tugasnya di Mesir, al-Maraghi tinggal di daerah Hilwan, sebuah kota yang terletak sekitar 25 kilometer sebelah selatan Kota Kairo. Ia menetap di sana sampai akhir hayatnya. Ia wafat pada usia 69 tahun (1371 H/1952 M).
                   Al-Maraghi mewariskan kepada umat Islam berbagai karya ilmiah. Salah satunya adalah Tafsir al-Maraghi. Adapun karya-karyanya yang lain adalah: Al-Hisbat fi al-Islam, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, ‘Ulum al-Balaghah, Muqaddimat at-Tafsir, Buhuts wa A-ra’ fi Funun al-Balaghah, dan Ad-Diyanat wa al-Akhlaq.

b. Metodologi Tafsir al-Maraghi[16]
Dari segi metodologi, al-Maraghi telah mengembangkan metode baru dalam menafsirkan al-Qur’an, Menurut sebagian pengamat tafsir, al-Maraghi adalah mufasir yang pertama kali memperkenalkan metode tafsir yang memisahkan antara ‘uraian global’ dan ‘uraian perincian’. Sehingga, penjelasan ayat-ayat di dalamnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu Ma’na Ijma-li[17] dan Ma’na Tahlili.[18]
Kemudian, dari segi sumber yang digunakan selain menggunakan ayat dan atsar, al-Maraghi juga menggunakan ra’yi (nalar) sebagai sumber dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Namun perlu diketahui, penafsirannya yang bersumber dari riwayat (relatif) terpelihara dari riwayat yang lemah (dhaif) dan susah diterima akal, atau tidak didukung oleh bukti-bukti secara ilmiah.
Al-Maraghi sangat menyadari kebutuhan kontemporer. Dalam konteks kekinian, merupakan keniscayaan bagi mufasir untuk melibatkan dua sumber penafsiran, aql (akal) dan naql (nas al-Qur’an dan hadis). Karena memang hampir tidak mungkin menyusun tafsir kontemporer dengan mengandalkan riwayat semata. Sebab, selain jumlah riwayat (naql) yang cukup terbatas juga karena kasus-kasus yang muncul membutuhkan penjelasan yang semakin komprehensif, seiring dengan perkembangan problematika sosial, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang berkembang pesat. Sebaliknya, melakukan penafsiran dengan mengandalkan akal semata juga tidak mungkin, karena dikhawatirkan rentan terhadap penyimpangan-penyimpangan.
Tidak dapat dimungkiri, Tafsir al-Maraghi sangat dipengaruhi oleh tafsir-tafsir yang ada sebelumnya, terutama Tafsir al-Manar. Hal ini wajar, mengingat dua penulis tafsir tersebut, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, adalah guru yang paling banyak memberikan bimbingan kepada al-Maraghi di bidang tafsir. Bahkan, sebagian orang berpendapat bahwa Tafsir al-Maraghi adalah penyempurnaan terhadap Tafsir al-Manar yang sudah ada sebelumnya. Metode yang digunakan juga dipandang sebagai pengembangan dari metode yang digunakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Adapun sistematika dan langkah-langkah yang digunakan dalam Tafsir al-Maraghi adalah sebagai berikut:[19]
Pertama, Menghadirkan satu, dua, atau sekelompok ayat yang akan ditafsirkan. Pengelompokan ini dilakukan dengan melihat kesatuan inti atau pokok bahasan. Ayat-ayat ini diurut sesuai tertib ayat mulai dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nas.
Kedua, Penjelasan kosa kata (Syarh al-Mufradat). Setelah menyebutkan satu, dua, atau sekelompok ayat, al-Maraghi melanjutkannya dengan menjelaskan beberapa kosa kata yang sukar menurut ukurannya. Dengan demikian, tidak semua kosa kata dalam sebuah ayat dijelaskan melainkan dipilih beberapa kata yang bersifat konotatif atau sulit bagi pembaca.
Ketiga, Makna ayat sacara umum (Ma’na al-Ijmali). Dalam hal ini, al-Maraghi berusaha menggambarkan maksud ayat secara global, yang dimaksudkan agar pembaca sebelum melangkah kepada penafsiran yang lebih rinci dan luas ia sudah memiliki pandangan umum yang dapat digunakan sebagai asumsi dasar dalam memahami maksud ayat tersebut lebih lanjut. Kelihatannya pengertian secara ringkas yang diberikan oleh al-Maraghi ini merupakan keistimewaan dan sesuatu yang baru, di mana sebelumnya tidak ada mufassir yang melakukan hal serupa.
Keempat, Penjabaran (al-Idhah). Pada langkah terakhir ini, al-Maraghi memberikan penjelasan yang luas, termasuk menyebutkan Asbab an-Nuzul jika ada dan dianggap shahih menurut standar atau kriteria keshahihan riwayat para ulama. Dalam memberikan penjelasan, kelihatannya al-Maraghi berusaha menghindari uraian yang bertele-tele (al-Ithnab), serta menghindari istilah dan teori ilmu pengetahuan yang sukar dipahami. Penjelasan tersebut dikemas dengan bahasa yang sederhana, singkat, padat, serta mudah dipahami dan dicerna oleh akal.
c.   Ide Pembaharuan dalam Tafsir al-Maraghi
Penulisan tafsir al-maraghi tidak terlepas dari rasa tanggung jawab dan tuntutan ilmiah seorang penulis sebagai salah seorang ulama tafsir, dalam mengatasi problema masyarakat kontemporer yang membutuhkan pemecahan secara cepat dan tepat. Ia merasa terpanggil untuk menawarkan solusi berdasarkan makna yang terkandung dalam nas al-Qur’an. Karena alasan itulah tafsir al-Maraghi tampil dengan gaya modern, yakni tafsir yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang sudah maju.
Al-Maraghi berhasil menggabungkan dari beberapa metode tafsir yang ada, melalui kitab tafsirnya, al-Maraghi juga mengembangkan salah satu unsur penafsiran baru, yakni memisahkan antara penjelasan global (ijmali) dan penjelasan rincian (tahlili).

IV. Metode Tafsir Modern; Tafsir al-Misbah
a.   Sketsa Biografi
Muhammad Quraish lahir pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, Sulawesi Selatan. Ia merupakan putra dari salah seorang wirausahawan dan juga seorang guru besar dalam bidang tafsir yaitu Prof. KH. Abdurrahma Shihab.
Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah dasar di Ujung Pandang, kemudian dilanjutkan dengan sekolah menengah, sambil belajar agama di Pondok Pesantren Dar Hadis al-Fiqhiyah di kota Malang, Jawa Timur. Pada tahun 1958, ketika ia berusia 14 tahun ia dikirim oleh ayahnya ke al-Azhar Kairo Mesir untuk mendalami studi keIslaman, dan diterima di kelas II Tsanawiyah al-Azhar. Setelah selesai, Quraish Shihab berminat melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, tetapi ia tidak diterima karena belum memenuhi syarat yang telah ditetapkan karena itu ia bersedia untuk mengulang setahun guna mendapatkan kesempatan studi di Jurusan Tafsir Hadis walaupun jurusan-jurusan lain terbuka lebar untuknya. Pada tahun 1967 ia dapat menyelesaikan kuliahnya dan mendapatkan gelar Lc. Karena “kehausannya” dalam ilmu al-Qur’an ia melanjutkan kembali pendidikannya dan berhasil meraih gelar MA pada tahun 1968 untuk spesalisasi di bidang tafsir al-Qur’an dengan tesis berjudul “al-I’jaz at-Tasyri’i al-Qur’an al-Karim.[20]
Pada tahun 1980 Quraish Shihab kembali ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan pendidikannya, ia mengambil spesialisasi dalam studi tafsir al-Qur’an, dalam kurun waktu dua tahun ia berhasil meraih gelar doktor dengan disertasi yang berjudul “Nazhm al-Durar li al-Biqa’I Tahqiq wa Dirasah” (suatu kajian terhadap kitab Nazhm ad-Durar Karya al-Biqa’i) dengan predikat Summa Cum Laude dengan penghargaan Mumtaz Ma’a Martabah al-Syarafal Ula.[21]
Quraish Shihab merupakan salah seorang penulis yang produktif yang menulis berbagai karya ilmiah baik yang berupa artikel dalam majalah maupun yang berbentuk buku yang diterbitkan. ia juga menulis berbagai wilayah kajian yang menyentuh permasalahan hidup dan kehidupan dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Adapun karya-karya beliau yang lain adalah: Tafsir al-Amanah, Membumikan al-Qur’an, Wawasan al-Qur’an Tafsir al-Qur’an Al-Karim. al-Asma Al-Husna. Mukjizat al-Qur’an.

b. Metodologi Tafsir al-Misbah
Secara metodologis tafsir al-Misbah ditafsirkan dengan menggunakan metode Tahlîlî, yaitu ayat per ayat disusun berdasarkan tata urutan al-Qur’an. Menurut Quraish Shihab al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam tafsir al-Mishbâh, beliau tidak luput dari pembahasan ilmu al-Munâsabât yang tercermin dalam enam hal:
1.        Keserasian kata demi kata dalam satu surah;
2.        Keserasian kandungan ayat dengan penutup ayat (Fawâshil);
3.        Keserasian hubungan ayat dengan ayat berikutnya;
4.        Keserasian uraian awal satu surah dengan penutupnya;
5.        Keserasian penutup surah dengan uraian awal surah sesudahnya;
6.        Keserasian tema surah dengan nama surah.
Metode yang dipergunakan dan yang dipilih dari penafsirannya adalah metode Tahlili. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya yaitu dengan menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan susunannya yang terdapat dalam mushaf. Namun disisi lain Quraish Shihab mengemukakan  bahwa metode Tahlili memiliki berbagai kelemahan, maka dari itu Quraish Shihab juga menggunakan metode Maudhu’i atau tematik, yang menurutnya metode ini memiliki beberapa keistimewaan, diantaranya metode ini dinilai dapat menghidangkan pandangan dan pesan al-Qur’an secara mendalam dan menyeluruh menyangkut tema-tema yang dibicarakannya.
Menyadari kelemahan-kelemahan yang terdapat metode Tahlili, Quraish Shihab memberikan tambahan lain dalam karyanya. Ia menilai bahwa cara yang paling tepat untuk menghidangkan pesan al-Qur’an adalah metode Maudhu’i. Dengan demikian, metode penulisan tafsir al-Misbah mengkombinasikan dua metode yaitu metode Tahlili dengan metode Maudhu’i.
Adapun corak yang dipergunakan dalam tafsir al-Misbah adalah corak Ijtima’i atau kemasyarakatan, sebab uraian-uraiannya mengarah pada masalah-masalah yang berlaku atau terjadi di masyarakat. Dalam menjelaskan ayat-ayat suatu surat, biasanya beliau menempuh beberapa langkah dalam menafsirkannya, diantaranya:
1.   Pada setiap awal penulisan surat diawali dengan pengantar mengenai penjelasan surat yang akan dibahas secara detail, misalnya tentang jumlah ayat, tema-tema yang menjadi pokok kajian dalam surat, nama lain dari surat.
2.   Penulisan ayat dalam tafsir ini, dikelompokkan dalam tema-tema tertentu sesuai dengan urutannya dan diikuti dengan terjemahannya.
3.   Menjelaskan kosa kata yang dipandang perlu, serta menjelaskan munasabah ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat sebelum maupun sesudahnya.
4.   Kemudian menafsirkan ayat yang sedang dibahas, serta diikuti dengan beberapa pendapat para mufassir lain dan menukil hadis nabi yang berkaitan dengana ayat yang sedang dibahas.
Adapun sumber penafsiran yang dipergunakan tafsir al-Misbah ada dua: Pertama, bersumber dari ijtihad penulisnya. Kedua, dalam rangka menguatkan ijtihadnya, ia juga mempergunakan sumber-sumber rujukan yang berasal dari pendapat dan fatwa ulama yang dianggap relevan, baik yang terdahulu maupun mereka yang masih hidup dewasa ini.”
Tafsir al-Misbah bukan semata-mata hasil ijtihad, hal ini diakui sendiri oleh penulisnya dalam kata pengantarnya mengatakan: Akhirnya, penulis (Muhammad Quraish Shihab) merasa sangat perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang dihidangkan disini bukan sepenuhnya hasil ijtihad penulis. Melainkan hasil karya ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh banyak penulis nukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Ibnu Umaral-Baqa’i (w. 887 H/1480M) yang karya tafsirnya ketika masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi penulis di Universitas al-Azhar Kairo, dua puluh tahun yang lalu. Demikian pula karya tafsir pemimpin tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Thanthawi, juga Syekh Mutawalli al-Sya’rawi, dan tidak ketinggalan Sayyid Quthub, Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, serta beberapa pakar tafsir yang lain.[22]

c. Ide Pembaharuan dalam Tafsir al-Misbah
Salah satu karya yang menjadi magnumopus dari Quraish Shihab adalah tafsir al-Misbah.  Tafsir yang terdiri dari 15 volume ini mulai ditulis pada tahun 2000 sampai 2004. Pengambilan nama al-Misbah pada kitab tafsirnya dengan alasan bahwa, bila dilihat dari kata pengantarnya ditemukan penjelasan yaitu al-Misbah berarti lampu, pelita, lentera atau benda lain yang berfungsi serupa, yaitu agar karyanya itu dapat dijadikan sebagai pegangan bagi mereka yang berada dalam suasana kegelapan dalam mencari petunjuk yang dapat dijadikan pegangan hidup. Al-Qur’an itu adalah petunjuk, tapi karena al-Qur’an disampaikan dengan bahasa Arab, sehingga banyak orang yang kesulitan memahaminya. Disinilah manfaat tafsir Al-Misbah, yaitu dapat membantu mereka yang kesulitan memahami wahyu Ilahi tersebut.
Latar belakang penulisan tafsir al-Misbah ini diawali oleh penafsiran sebelumnya yang berjudul “tafsir al-Qur’an al-Karim” pada tahun 1997 yang dianggap kurang menarik minat orang banyak, bahkan sebagian mereka menilainya bertele-tele dalam menguraikan pengertian kosa kata atau kaidah-kaidah yang disajikan. Akhirnya ia tidak melanjutkan upaya itu. Di sisi lain banyak kaum muslimin yang membaca surah-surah tertentu dari al-Qur’an, seperti surah Yasin, al-Waqi’ah, al-Rahman dan lain-lain merujuk kepada hadis dhoif, misalnya bahwa membaca surah al-Waqi’ah mengandung kehadiran rizki. Dalam tafsir al-Misbah selalu dijelaskan tema pokok surah-surah al-Qur’an atau tujuan utama yang berkisar di sekililing ayat-ayat dari surah itu agar membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar.

V. Penutup
Demikianlah gambaran umum tentang ketiga metode tafsir modern yakni tafsir al-Manar, al-Maraghi dan al-Misbah yang secara singkat dan sederhana dapat disimpulkan bahwa: ketiga tafsir tersebut pada dasarnya ingin memfungsikan tujuan utama dari kehadiran al-Qur’an, yakni sebagai petunjuk serta pemberi jalan keluar bagi berbagai problema umat manusia. Oleh karena itu, diskursus tafsir modern diwarnai oleh usaha-usaha untuk membumikan al-Qur’an ditengah-tengah kehidupan umat Islam. Para mufassir ingin membuktikan bahwa al-Qur’an benar-benar bersifat universal yang dapat menjawab problematika umat.
Apa yang dilakukan oleh mufassir modern sebenarnya merupakan usaha ijtihad yang barangkali hanya cocok dengan sosio-kultural setempat, dan tidak cocok dengan sosio-kultural yang lain. Oleh karena itu, dalam khazanah penafsiran modern tidak menutup kemungkinan munculnya mufassir-mufassir modern di tempat lain bahkan diantara kita. Amin!

VI. DAFTAR PUSTAKA
A. Athaillah, Rasyid Ridha; Konsep Teologi Rasional alam Tafsir al-Manar, Jakarta: Erlangga, 2006.
Al-Maraghi  Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Juz 1.
Anwar  Rosihan, Samudera Al-Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001
Baidan Nashruddin,  Rekonstruksi Ilmu Tafsir, Jakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 2000.
Faiz Fachruddin, Hermeneutika Qur’an, Yogyakarta: Qalam, cet. Ke-II, 2002.
Hasan Asy’ari Ulama’i, Membedah Kitab Tafsir Hadis; Dari Iman Ibn Jarir al-Thobari hingga Imam al-Nawawi al-Dimasyqi, Semarang: Walisongo Press.
Khalil al-Qattan Manna, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta: PT Pustaka Litera Antarnusa, 2009
Mohammad Nur Ichwan, Belajar Al-Qur’an; Menyingkap Khazanah Ilmu-ilmu al-Qur’an Melalui Pendekatan Historis-Metodologis, Semarang: Rasail.
Shihab M. Quraish, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.
----------------------, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 1999.
----------------------, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Penerbit Mizan, 1998.
----------------------, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006.






[1] Piranti tafsir sebenarnya merupakan kacamata refleksi Qur’ani seorang mufassir dalam merespon persoalan-persoalan aktual. Oleh karena itu, tafsir al-Qur’an semestinya selalu aktual dan membumi (on ground). Hal ini sesuai dengan misi al-Qur’an sendiri sebagai huddan li an-nas (petunjuk umat) di mana dan kapan pun berada. Tafsir yang kita perlukan sekarang ini adalah tafsir yang benar-benar menawarkan solusi terhadap semua persoalan yang dihadapi manusia. Lihat Rosihan Anwar, Samudera al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 259.
[2] Menurut Dr. Al-Farmawy, pencetus dari metode tafsir ini adalah Syeh Muhammad Abduh,  kemudian ide-ide pokoknya diberikan oleh Syeh Muhammad Syaltut, lalu diintroduksikan secara kongkrit oleh Prof. Dr. Sayyid Ahmad Kamal al-Kaumi. Lihat Mohammad Nur Ichwan, Belajar Al-Qur’an; Menyingkap Khazanah Ilmu-ilmu al-Qur’an Melalui Pendekatan Historis-Metodologis, Semarang: Rasail, hlm. 269.
[3]  Fachruddin Faiz, Hermeneutika Qur’an, Yogyakarta: Qalam, Cet. Ke-II, 2002, hlm. 61.
[4]  A. Athaillah, Rasyid Ridha; Konsep Teologi Rasional Alam Tafsir al-Manar, Jakarta: Erlangga, 2006, hlm. 26.
[5]  Ibid., Fachruddin Faiz..., hlm. 62
[6]  Ibid, hlm. 64.
[7]  M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994, hlm. 66.
[8]  Menurut catatan sejarah Muhammad Rasyid Ridha adalah murid paling tekun, teliti dan semangat  dalam mengikuti kuliah yang disampaikan oleh Muhammad Abduh. Maka dapatlah dikatakan bahwa ia adalah pewaris tunggal bagi ilmu-ilmu Muhammad Abduh yang menghasilkan karya yang menjadi magnum opusnya yakni Tafsir al-Qur’an al-Hakim yang populer disebut dengan Tafsir al-Manar. Lihat Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta: PT Pustaka Litera Antarnusa, 2009, hlm. 512.
[9] Hasan Asy’ari Ulama’i, Membedah Kitab Tafsir Hadis; Dari Iman Ibn Jarir al-Thobari hingga Imam al-Nawawi al-Dimasyqi, Semarang: Walisongo Press, hlm. 62.
[10] Rosihan Anwar, Samudera Al-Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001, hlm. 260.
[11] Ibid., hlm. 260.
[12]Dalam metode ini biasanya mufasir menguraikan makna yang dikandung oleh al-Qur’an ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya di dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian, kosa kata, konotasi, kalimatnya, latar belakang turun ayat, kaitannya dengan ayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya (munasabat), dan tidak ketinggalan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut; baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat maupun para tabi’in dan ahli tafsir lainnya. Lihat Prof. Dr. Nashruddin Baidan,  Rekonstruksi Ilmu Tafsir, Jakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 2000, hlm. 69.
[13] Ibid., Fachruddin Faiz..., hlm. 71.
[14] A. Athaillah, Rasyid Ridha; Konsep..., hlm. 34.
[15] Sunnatullah berarti ketentuan-ketentuan (hukum) Allah yang berlaku pada segenap alam semesta dan berjalan secara teratur, tetap, dan otomatis. Sunatullah ini dalam filsafat dan sains modern bisa disebut sebagai hukum kausalitas (hukum sebab-akibat) atau hukum alam, Lihat Athaillah., hlm. vii.
[16] Tafsir al-Maraghi merupakan salah satu tafsir al-Quran kontemporer. Nama al-Maraghi diambil dari nama belakang penulisnya, Ahmad Musthafa al-Maraghi. Tafsir ini merupakan hasil dari jerih payah dan keuletannya selama kurang lebih 10 tahun, dari tahun 1940-1950 M. Tafsir al-Maraghi pertama kali diterbitkan pada tahun 1951 di Kairo. Pada terbitan yang pertama ini, Tafsir al-Maraghi terdiri atas 30 juz atau dengan kata lain sesuai dengan pembagian juz al-Quran. Kemudian, pada penerbitan yang kedua terdiri dari 10 jilid, di mana setiap jilid berisi 3 juz, dan juga pernah diterbitkan ke dalam 15 Jilid, di mana setiap jilid berisi 2 juz. Kebanyakan yang beredar di Indonesia adalah Tafsir al-Maraghi yang diterbitkan dalam 10 jilid.
[17] Menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang popular, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar al-Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya. Lihat Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, hlm. 67.
[18] Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Lihat Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, hlm. 68.
[19] Lihat Tafsir al-Maraghi, Juz 1.
[20] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 1999.
[21] Ibid.
[22] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. I, Jakarta: Lentera Hati, 2002.